Senin, 13/05/2013 09:35 WIB
Catatan Agus Pambagio
e-KTP dan Kegalauan Publik
Agus Pambagio - detikNews
Jakarta - e-KTP sebagai tanda jati
diri (ID Card) warga Indonesia di dalamnya termuat data pribadi
pemiliknya. Mulai nama, status sampai data sidik jari dan retina mata
pemiliknya. Dengan adanya e-KTP diharapkan tidak ada lagi duplikasi data
diri seorang Warga Negara Indonesia (WNI). Untuk itu sudah selayaknya
data di e-KTP harus terlindung dari segala bentuk pemalsuan dan
kerusakan data.
Data pemilik tersimpan dalam chip jenis RFID
(Radio Frequency Identification) yang tersimpan dalam e-KTP dan
dilindungi dengan 9 lapis pengaman yang tidak tampak dan teraba dari
luar seperti yang ada pada chip di kartu kredit atau kartu debet yang
berbentuk persegi dan berwarna keemasan. Untuk membaca data yang ada di
e-KTP harus menggunakan alat pembaca data digital yang bernama card
reader (CR).
Sebagai bangsa yang besar dan beradab, penggunaan
data diri tunggal semacam e-KTP yang tidak mudah dipalsukan dan rusak
merupakan suatu keharusan. Sejak program e-KTP diluncurkan, terkesan
Pemerintah dalam hal ini Kementrian Dalam Negeri terkesan tidak
mempunyai konsep komunikasi yang jelas dan baik kepada publik maupun
aparat Pemerintah sampai ke tingkat desa.
Ketidakjelasan proses
pengambilan dan pemutakhiran data, jadwal penyelesaian e-KTP di setiap
wilayah, lambannya pencetakan e-KTP, sulitnya pemegang e-KTP kalau mau
pindah domisili dan sebagainya membuat publik kecewa. Puncak kekecewaan
publik ketika minggu lalu Pemerintah membuat kehebohan baru terkait
dengan munculnya Surat Edaran (SE) Kemendagri terkait dengan pemanfaatan
e-KTP dengan menggunakan card reader.
Isu utamanya e-KTP tidak
boleh di foto copy karena akan merusak chip yang ada di dalamnya. Isu
kedua adalah di e-KTP yang beredar belum ada chip nya karena tidak
terlihat seperti yang ada di kartu kredit. Isu ketiga adalah pengadaan
card reader yang rentan korupsi di Kemendagri. Apa yang sebenarnya
terjadi ? Mari kita bahas singkat nan padat berikut ini.
Persoalan e-KTP dan Komunikasi Kemendagri
Kesimpangsiuran
tentang e-KTP yang terjadi minggu lalu sebenarnya dipicu dengan kurang
teliti dan komprehensifnya Kemendagri menjelaskan ke publik paska
disampaikannya SE No. 471.13/1826/SJ tersebut. Kemendagri tidak cepat
menanggapi dan menjelaskan kesalahpahaman publik atas SE tersebut segera
setelah muncul kehebohan masal.
Sejatinya SE Kemendagri bukan
ditujukan kepada publik tetapi kepada instansi/Kementerian terkait yang
akan menggunakan data masyarakat pemegang e-KTP, seperti Imigrasi,
perbankan, Kementerian Kesehatan, Kepolisian dsb supaya segera
mengadakan/membeli card reader untuk membaca data masyarakat, bukan
mengkopi e-KTP. Memang pernyataan SE di poin 2 halaman 2 yang menyatakan
bahwa e-KTP tidak diperkenankan di foto copy, di-stapler dan perlakuan
lainnya yang merusak fisik e-KTP, membuat publik heboh dan munculah
berbagai asumsi macam-macam.
Seharusnya kalimat tersebut memang
tidak perlu dicantumkan. Namun menurut Kemendagri kalimat itu perlu
ditulis untuk memaksa Instansi/Kementerian yang terkait segera
mengadakan card reader supaya kegunaan e-KTP sesuai tujuan awal program
ini. Kalau masih memerlukan foto copy ya tidak usah ada e-KTP dan itu
artinya kerumitan kependudukan akan terus terjadi.
Dengan adanya
e-KTP maka diharapkan tidak ada lagi KTP palsu untuk membeli tiket
kereta api dan pesawat, munculnya caleg bodong, munculnya penggandaan
pemilih, munculnya nomor rekening bodong di bank untuk menampung uang
publik yang tertipu dengan iklan, SMS maupun praktek-praktek kriminal
on-line lainnya. Jadi sekali lagi, publik jangan terkecoh SE Kemendagri
karena bukan ditujukan untuk pemegang e-KTP.
Artinya SE
Kemendagri tersebut tidak masalah dan tidak menyalahi UU Nomor 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 14 tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik dan UU Nomor 25 tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik. Hanya saja, sekali lagi yang bermasalah adalah
komunikasi publik Kemendagri sehingga menimbulkan kehebohan.
Kehebohan
ini memicu banyak komentar negatif dan kecurigaan publik terhadap
Pemerintah khususnya Kemendagri, seperti kemungkinan adanya main mata
tender card reader di Kemendagri, Kemendagri mau memeras rakyat dengan
pergantian e-KTP yang rusak karena di-foto copy, dan sebagainya.
Langkah Kemendagri untuk Menenangkan Publik
Segera
kumpulkan seluruh kepala daerah seluruh Indonesia atau ada pejabat
Kemendagri yang berkeliling ke seluruh pelosok Tanah Air untuk
menjelaskan dari A - Z apa itu e-KTP sambil membawa atau membagikan
materi komunikasi cetak dan on line yang harus di sampaikan secara
lengkap kepada masyarakat dan media di daerahnya.
Jelaskan juga
bahwa pengadaan card reader di berbagai instansi/Kementerian bukan tugas
Kemendagri karena tugas Kemendagri adalah sebagai regulator bukan
proyektor, fabrikator atau distributor card reader. Jadi tidak ada dana
APBN yang digunakan di Kemendagri untuk pengadaan card reader.
Kemendagri
perlu juga menjelaskan dengan komunikasi yang baik, holistik dan mudah
kepada publik supaya mudah di mengerti bahwa e-KTP aman di-foto copy.
Hanya saja buat apa para instansi/Kementerian terkait meminta atau
melakukan foto copy e-KTP jika data diri pemegang e-KTP bisa dibaca
melalui card reader. Kalau mereka masih memerlukan foto copy e-KTP buat
apa Negara membiayai pembuatan e-KTP ?
Namun dipahami jika di
pelosok Tanah Air yang mungkin listrik saja belum ada, terutama dalam
masa transisi ini, foto copy e-KTP mungkin masih diperlukan. Maka publik
bisa mem-foto copy satu kali saja (kalau tetap takut rusak) dan hasil
foto copy 1 x tersebut bisa di foto copy ribuan kali jika mau dan perlu.
Semoga di lain kesempatan, dalam melaksanakan kebijakan baru,
Pemerintah tidak membuat masyarakat galau karena kegalauan masyarakat
sangat melelahkan semua pihak termasuk Pemerintah sendiri dan
memunculkan berbagai kecurigaan yang negatif.
*)
Agus Pambagio, pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen
(nwk/nwk)
Sumber: http://news.detik.com/read/2013/05/13/093500/2243839/103/e-ktp-dan-kegalauan-publik