Wednesday, July 4, 2012

Suara bukan sinar

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1987/02/14/MD/mbm.19870214.MD29119.id.html

14 Februari 1987

BANYAK yang kecele. "Sinar Harapan terbit lagi?" ujar seorang bapak dari sebuah mobil saat berdesakan di perempatan Kuningan. "Benar, Pak. Koran ini lanjutan Sinar," ujar anak penjaja koran memancing pembeli. Mulai Selasa pekan lalu, harian sore dengan sosok mirip Sinar Harapan, yang dicabut SIUPP-nya empat bulan yang lalu, beredar.

Namanya: Suara Pembaruan.

Bentuk logo harian SP memang menggunakan tipografi yang dulu dipakai SH. Juga tata letak dan pembagian kolom persis meniru SH. Memang, pojok tidak lagi dijaga oleh Srempel yang berumah di kolom Vivere Pencoloso, yang penanya bisa lucu dan sinis. Pojok SP bernama Sasaran, dengan penjaganya: Pembaru. Persamaan juga terjadi pada Suara Pembaruan Minggu, edisi Minggu SP, yang beredar Sabtu. Logo edisi Minggu juga merah, dan rubrik-rubriknya juga sama dengan SH Minggu. Bahkan nama tokoh dalam kolom cerita karikatural, Nyonya Cemplon, beserta sosoknya dalam coretan Ilustrator Pramono, tak ada bedanya dengan yang dalam SH. Jadi, benarkah anggapan orang bahwa SP kelanjutan SH dengan nama lain? Setiadi Tryman, 50, Pemimpin Redaksi SP, membantah. Penampilan bergaya Sinar Harapan memang disengaja, agar "Kerinduan pembaca akan koran yang telah ditutup itu terpenuhi," ujar Setiadi. Tetapi, bila koran ini disambut baik oleh pembaca, mungkin bukan soal SH atau SP-nya. Agaknya, orang membutuhkan informasi aktual di sore hari - dari soal politik, perkembangan situasi di Libanon, sampai film baru di bioskop setelah memperoleh kabar dari koran pagi. Setelah SH ditutup, hanya Harian Terbit surat kabar Ibu Kota yang beredar sore, sedangkan koran pagi lebih dari sepuluh buah. Bisa jadi itulah yang menyebabkan SP konon, dicetak 300.000 eksemplar--lebih banyak 50.000 eksemplar dibandingkan SH pada hari-hari terakhirnya. Dan, "Laku sembilan puluh persen," kata Setiadi pula.

Pasar utama tetap Jakarta. Sisanya disebar ke luar kota, Jawa, dan luar Jawa. Berbeda dengan sistem distribusi SH, koran baru ini tiba di daerah lebih cepat. Soalnya, jatah untuk luar kota dicetak di percetakan harian Suara Kaa di Cengkareng, hingga mempercepat pengiriman ke daerah lewat Bandara Soekarno--Hatta. Apa pun maksudnya, di balik sosok yang mirip SH, sebenarnya, pendukung SP pun sebagian besar masih orang Sinar. Pada mazet susunan redaksi memang hanya Setiadi Tryman (Pemimpin Redaksi) orang redaksi lama yang tampil. Sedangkan Albert Hasibuan (Pemimpin Umum) dan Soedarjo (Pemimpin Perusahaan) meski masih termasuk orang dalam, namun kurang dikenal masyarakat luas sebagai orang pers.

Puncak manajemen PT Media Interaksi Utama (MIU), penerbit SP, wajah orang-orang bekas Sinar masih dominan. Komisaris PT ini adalah bekas pemimpin redaksi SH, Subayo Pr. Lalu T.C.T. Simorangkir dan Komang Makkes. H.G. Rorimpandey, Pemimpin Umum SH, kini menjadi Presiden Direktur PT MIU itu. Dan bila tak ada lagi lembaga Redaksi Pelaksana, kabarnya segera dibentuk yang disebut staf ahli pengendalian mutu pemberitaan, dan -- lagi-lagi -- yang duduk di situ orang-orang SH juga. Yakni Daud Sinyal, Samuel Pardede, Moxa Nadeak ketiganya bekas redaktur pelaksana Sinar.

Sumber lain mengatakan, ketiga bekas redaktur itu hanya akan ditempatkan sebagai staf khusus. Hanya Aristides Katoppo, dulu Pemimpin Perusahaan/Wakil Pemimpin Umum II yang tampaknya tak ikut ambil bagian langsung dalam koran baru ini. Ia tetap sebagai Dirut PT Pustaka Sinar Harapan, perusahaan yang menerbitkan buku. Beredar suara di luaran, para redaktur senior itu "tersingkir" karena "desakan" pihak pemerintah. Tetapi sebuah sumber dari kalangan dalam SP membantah kabar yang tak jelas sumbernya itu. "Susunan redaksi berubah sesuai dengan rencana peremajaan pengasuh," katanya. Dan menurut Setiadi, susunan pengasuh yang kini dipakai baru percobaan. "Tiga bulan mendatang akan dievaluasi tepat tidaknya," katanya. A. Luqman, Laporan Syatrya Utama (Jakarta)

0 comments:

Post a Comment