Wednesday, May 30, 2012

Kucing-kucingan bikin encok kapok

Berikut hasil interview Ibu Moxa oleh Majalah TRUBUS.

Obat tradisional
sumber : TRUBUS 374 - Januari 2001/XXXII

Fajar tiba dan pagi menjelang adalah saat-saat menyakitkan bagi Ruth Dilah Wiharti. Pergelangan kedua kakinya-terutama di sekitar mata kaki---membengkak menyebabkan ia tertatih-tatih. "Langkah pertama, kedua, dan ketiga pasti saya menangis. Sendi kaki terasa sangat nyeri," ujar istri mantan wartawan sebuah harian tersebut.

Keadaan itu berlangsung berbulan-bulan sebelum akhirnya ia memeriksakan diri ke sebuah rumah sakit di Jakarta Barat. Menurut dokter, perempuan kelahiran Kediri 1 Mei 1942 itu menderita reumatik. Setelah mengkonsumsi pil dari dokter, pembengkakan kaki mengempis, sementara. Namun, "Nyeri tak berkurang," ujar alumni Sekolah Tinggi Perkebunan (Stiper) Yogyakarta. Namun, efeknya produksi asam lambung meningkat. Oleh karena itu selama setahun ia makan nasi benyek. "Membosankan, apalagi pantangannya seabreg,", tuturnya.

Itu pula yang menyebabkan ia mencoba pengobatan dengan penyinaran. Sepekan tiga kali Ruth datang ke sebuah rumah sakit di bilangan Manggabesar, Jakarta Barat. "Walau harus antre dan membayar mahal saya menjalani pengobatan sungguh-sungguh. Sebab kalau encok kambuh, sakitnya bukan main. Jangankan perempuan, laki-laki pun bisa menangis." ujar ibu tiga anak itu. Menurutnya saat penyinaran persendian terasa hangat sehingga nyeri hilang seketika.

Setelah tujuh pekan berturut-turut atau 20 kali penyinaran encok pada persendian lutut Ruth belum juga sembuh total. Bahkan, setelah penyinaran dihentikan lantaran repot, "Enam bulan kemudian kambuh lagi. Dan dari situlah saya berfikir untuk menggunakan obat-obatan tradisional." Baginya tak sulit memilih jenis tanaman tertentu untuk mengatasi encok. Selain mendiang suaminya dulu banyak memperkenalkan berbagai jenis tanaman obat, Ruth juga rajin membaca buku pengobatan rradisional.

Tak percaya
Suatu ketika ia penasaran setelah membaca artikel anting-anting yang berfaedah melawan diabetes, tumor, dan eksim di sebuah koran. Ia lantas mencari tanaman yang dipaparkan media tersebut di kebun-kebun kosong. Tanaman mirip bayam itu memang mudah ditemukan karena tumbuh liar di sembarang tempat.

Tiba di rumah seikat anting-anting itu dijemur di atas tampah. Namun, ia hanya mencari tanpa memanfaatkannya. Tetangganya justru yang banyak menggunakan tanaman itu. "Waktu itu saya masih dokter oriented," ujar mantan asisten dosen Bahasa Inggris di Stiper itu.

"Benjolan sebesar jari telunjuk di punggung tetangga saya hilang setelah ia minum rebusan akar anting-anting," ujar ibu dari Gading Obaja, Obet Rusman Wibowo dan Kristin Permatasari itu. Walau banyak penderita sembuh, tetap saja ia belum mempercayai keampuhan anting-anting. "Saya sebetulnya pernah mencicipi rebusan akarnya, tapi hambar. Itu yang menyebabkan saya tak percaya khasiatnya," tutur hobiis berkebun anggrek tersebut.

Digigit kucing
Yang ada di benaknya, tanaman berfaedah sebagai obat jika rasanya tidak hambar, mungkin sedikit pahit. Itulah sebabnya ia enggan mengkonsumsi rebusan akar anting-anting. Akibatnya, Wiharti tetap berjalan tertatih usai bangun pagi. Ia kian kesulitan berjalan saat tongkat cendana hadiah dari paman ketika berkunjung ke Nusa Tenggara Timur disembunyikan putri bungsunya. "Ayo, lawan, Ma. Lawan, Ma, tanpa tongkat," ujar Wiharti menirukan putrinya yang kini mahasiswa Sastra UI tersebut.

Pertemuan dengan seorang pria ketika Wiharti mengumpulkan anting-anting. mengikis keraguannya. Pria tua-renta itu hanya mengatakan, "Jika nanti kucing mau makan daun atau akarnya, berarti memang anting-anting.berkhasiat obat." Tak dinyana begitu ia menjemur anting-anting, delapan ekor kucing merubungnya dan menggigit daun serta akar. Sejak itulah ia mau mencoba meminum rebusan akarnya. Hingga saat ini belum jelas zat yang terkandung dalam anting-anting sehingga satwa karnivora tersebut mengunyah akar anting-anting. Lantaran kucing menyukainya, tanaman itu disebut kucing-kucingan.

Ruth mengatakan, rebusan akar anting-anting ampuh mengatasi encok. "Pengaruhnya langsung terasa kok, saat diminum, badan terasa enteng. Tumit kaki yang bengkak dalam 3--4 hari berangsur pulih. Jadi sejak mengkonsumsi anting-anting itulah encok saya tak pernah kambuh," lanjutnya. Walau begitu Ruth tetap mengkonsumsi rebusan akar anting-anting sebelum yakin encoknya sembuh. Ia mengkonsumsi rebusan akar anting-anting hingga 2.000 batang dalam 10 pekan. Jumlah itu tergolong tinggi, sebab 7 batang per hari saja sudah cukup.

"Anting-anting gratis dan tak berefek samping. Oleh karena itu sekali merebus saya masukkan 20 batang," dalihnya. Akar tanaman itu direbus dalam 8 gelas air. Bila mendidih, api dikecilkan dan air yang tersisa 4 gelas itu didinginkan. Sebelum merebus, akar dicincang dan tanah yang menempel dibersihkan sehingga hasil rebusan harum. Namun, jika tanah dibersihkan sebelum akar dijemur, aroma harum hilang. Rebusan tersebut diminum selang 3---4 jam pada pagi hari hingga menjelang tidur.

Berdasarkan pengalaman Ruth, keampuhan anting-anting tergantung tingkat ketuaan. Semakin tua kian bagus. "Tanaman muda yang batangnya masih hijau tak berkhasiat apa-apa," ujarnya. Ia biasanya mengambil batang seukuran pensil berwarna kecoklatan setinggi 30 cm, daun hijau tua dan menguning.

Setelah 14 kali merebus, Ruth Dilah Wiharti tak merasakan keluhan apa pun. "Saiki jinjit, ndodok wis ora opo-opo (Sekarang berjingkat atau jongkok sudah bisa, Red)," ujarnya dengan aksen Jawa yang kental sembari mempraktekkan berdiri hanya dengan jemari kaki berkali-kali. (Sardhi Daryatmo & Karjono).
read more

Tali Kasih

Dilah Wiharti (Wiwiek), dulu beralamat di Jl. Kawatan No. 6 Magelang mencari sahabat karibnya bernama Maria Magdalena, yang dahulu berdomisili di Gelangan Bawah, kemudian pindah ke Perancis pada tahun 1963 karena menikah dengan Christian (warga Perancis).

Ayah dari Maria Magdalena bernama Alm. Supandar/Soepandar, pensiunan Mantri Poliklinik Pegaden Baru, Cirebon. Saudara kandung Maria bernama Sumiarto dan Miharjo. Anak Maria bernama Solange. Christian, suaminya adalah mantan pegawai pembangunan Bendungan Jatiluhur, Purwakarta.

Apabila ada kerabat atau keluarga Ibu Maria yang membaca artikel ini mohon reply ke entri ini secepatnya. Terima kasih.
read more

Asparagus dan Lomba Pidato

Kronik Pembaruan

Tidak ada hubungan antara Asparagus (Asparagus Officinalis) dengan pidato. Tetapi Kamis siang pekan lalu (21/6), di satu desa di Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, berlangsunglah suatu upacara yang menyangkut tanaman holtikultura itu, dan sudah barang tentu, disertai dengan sejumlah pidato. Tanpa direncanakan, pidato-pidato itu seolah-olah disampaikan dalam suatu lomba pidato.

Pengusaha nasional Probosutedjo memprakarsai penanaman asparagus itu di desa yang pernah dikunjunginya 35 tahun lalu itu. Ia sebelumnya ingin mengajak para petani lewat KUD (Koperasi Unit Desa), tetapi karena pembentukan KUD berbelit-belit, para petani itu diorganiser dalam suatu perseroan terbatas, sehingga 500 petani bertindak sebagai pemegang saham dengan one man one vote, bukan one share one vote seperti biasanya. Mendengar itu, Ketua Dekopin Prof. Dr. Sri Edi Swasono—juga hadir dalam upacara itu, dan menyampaikan sambutannya tanpa teks—menyebutnya sebagai “PT yang bergerak dengan mekanisme koperasi”.

Nah, sejumlah tokoh dan pejabat menyampaikan pidatonya pada upacara peresmian persemaian asparagus itu. Mulai dari camat, wakil petani, bupati, dan Probosutedjo sendiri berpidato tanpa teks. Probosutedjo meminta petani bekerja sungguh-sungguh agar modal 12 miliar rupiah lebih termasuk pabrik pengalengan yang akan didirikan, tidak akan sia-sia dan kepercayaan terhadap mereka hilang.

Suasana tidak formal atau tidak protokoler semakin terasa dengan emcee (master of ceremony) penyanyi Hakim Tobing yang benar-benar tidak bisa “formal”. Ia menyebut Prof. Dr. JH Hutasoit yang hadir sebagai “mantan dirjen pertanian”, bukan “mantan menteri”!

Lalu tibalah giliran Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar. Ia mula-mula membacakan pidato tertulis. Pada bagian akhir ia mengatakan, itulah sambutan yang disiapkan stafnya yang dikatakannya wajib ia bacakan. Tetapi, tambahannya, mengingat pidato-pidato sebelumnya disampaikan tanpa teks, ia pun, “tentu tidak mau kalah”. Ia melipat kertas pidatonya.

Dalam pidato lisan itu Gubernur mengatakan, di Sumatera Utara selalu ada yang “anti”. Apa pun yang dikerjakan selalu mendapat tantangan. Yang baik, ada yang anti, apalagi yang buruk, kata Raja Inal.

Upacara ini benar-benar menjadi lomba pidato setelah salah seorang dari beberapa anggota DPA yang sedang berkunjung dan menghadiri acara itu, CI Santoso, yang diminta menyampaikan sambutannya, juga berpidato tanpa teks.

Suara Pembaruan/ Moxa Nadeak
27 Juni 1990
read more

Diskors Karena Imlek, Bagus!

Kronik Pembaruan

Seorang ayah pulang ke rumahnya Rabu (9/2) malam lalu. Putrinya yang bersekolah di suatu SMA swasta di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat, memberitahukan ayahnya, ia tidak akan masuk sekolah esok harinya, Kamis, 10 Februari.

“Kenapa?” tanya sang ayah
“Solider sama teman-teman. Merayakan Imlek,” jawab putrinya satu-satunya itu.

Di SMA swasta yang konon termasuk favorit tersebut, si anak perempuan itu memang merupakan satu-satunya “anak pribumi”. Selebihnya keturunan Cina. Dan si anak perempuan itu pun memberitahukan, 25 dari 43 siswa di kelasnya, sudah sepakat tidak masuk pada hari Kamis itu “untuk merayakan Imlek” yang memang jatuh pada hari tersebut, walaupun guru mereka tidak memerintahkan libur.

“Nggak apa-apa itu…?” tanya sang ayah mencoba menguji kebulatan tekad putrinya dan “kelompok”-nya.

“Nggak apa-apa!” jawab sang putri dan menambahkan, bila ia tidak ikut bolos, akan dimusuhi teman-temannya, dianggap tidak solider.

“Baguslah, kalau begitu,” jawab sang ayah.

Pada hari Kamis itu, si anak memang tidak masuk sekolah.

Jumat pagi (11/2) tiba-tiba ayahnya menerima telepon dari anak perempuannya yang duduk di kelas II SMA itu. Si anak menelepon dari telepon umum dekat sekolahnya.

“Pa, saya diskors Pak Guru dengan teman-teman,” si anak melapor agak gugup, agaknya takut ayahnya naik pitam.

“Kenapa diskors, sayang?” tanya ayahnya.
“Karena tidak masuk sekolah kemarin.”
“Sang ayah ketawa, dan menjawab, “Nggak apa-apa. Berapa kalian yang diskors?”
“Seminggu dan selama itu kami dilarang masuk ke pekarangan sekolah”.

Sang ayah tetap tertawa didengar anak perempuannya itu. Dalam hatinya, si ayah menganggap pengalaman serupa itu perlu untuk anaknya. Skorsing adalah hukuman bagi pelanggar peraturan.

Tetapi si ayah pun berpikir, apakah skorsing seminggu bagi murid sekolah yang dianggap umum favorit itu tidak terlalu lama, apakah tidak akan mengganggu pendidikan anak-anak itu? Apakah hukuman bagi murid yang mulai belajar tentang “solidaritas” dan “demokrasi” sederhana seperti itu, harus begitu lama?

Pembaruan/ Moxa Nadeak
12 Februari 1994
read more

Monday, May 28, 2012

"DW-1"



Dibalik kesuksesan seseorang pasti ada wanita yang menyokong dari belakang. Inilah sosok mama yang sering kami panggil dengan singkatan akrab 'DW'. Ia sangat sederhana, simple dan periang. Hobby tanaman: anggrek, adenium; anjing: tekel/dachshund, boxer, pom, basset hound, dll. Pernah masuk majalah Trubus karena anggrek tanah kami berbunga kecil-kecil 1500 kuntum bunga dalam satu pot bunga. Berpengetahuan luas tentang tanaman obat dan memang mempunyai talenta mengobati orang walaupun dengan obat tradisional.
read more

Thursday, May 24, 2012

13 tahun Bang Moxa

Hari ini tanggal 24 Mei 2012. Tak terasa Bang Moxa sudah meninggalkan kita selama 13 tahun. Waktu begitu cepat berlalu dan yang terpenting liFe GoEs oN !!   :D

Sempat saya merenung, kenapa saya tidak ingat tanggal ini. Rupanya karena saya waktu itu berada di luar negeri dan saya tidak bisa menghadiri pemakaman karena saya harus transit di Taiwan. Sementara di Jakarta saya belum merasakan apa yang dinamakan ‘kehilangan’, beberapa saat barulah terasa sepi dan persaan ‘lost’ tersebut baru bisa teratasi setelah 5 tahun berlalu.

Walaupun keadaannya sempat membaik pada saat diopname akan tetapi Allah Bapa di surga mempunya rencana yang terbaik untuk Bang Moxa. Terima kasih Tuhan Yesus yang telah memberikan kami, keluarganya kekuatan dan pemeliharaan yang sempurna untuk menjalani hari-hari berkemenangan bersama Dia.
read more

Friday, May 11, 2012

Meliput Bung Karno dan Pak Harto

Banyak kawan menyarankan agar saya menulis buku tentang pengalaman selama delapan tahun jadi wartawan yang meliput kegiatan kepresidenan. Wartawan Istana, yang pada zaman Orba diidentikkan sebagai wartawan kerajaan, saya jalani dari tahun 1969 sampai 1977. Entah siapa yang memulai, sebutan wartawan kerajaan kala itu lebih populer dari pada julukan wartawan Istana.

Memang, penampilan wartawan Istana cukup mentereng. Tiap hari untuk menghadiri acara di Istana harus memakai dasi. Bahkan, pada saat-saat kepala negara menerima para tamu negara dari luar negeri harus memakai jas. Termasuk saat-saat kunjungan kenegaraan presiden ke luar negeri. Untungnya kami mendapat hadiah jas dari Pak Probosutedjo, adik Pak Harto.

Untuk itu, tidak tanggung-tanggung ia mendatangkan penjahit khusus dari Singapura, Tat Bee Taylor. Kami masing-masing disuruh memilih bahan dan mengukurnya. Hanya dalam waktu dua minggu pakaian lengkap tersebut sudah kami terima di Jakarta.

Sebelum ditugaskan meliput kegiatan kepresidnean pada masa Pak Harto berkuasa, saya pernah meliput kegiatan Bung Karno pada acara di luar Istana. Menurut rekan-rekan senior wartawan kala itu, Bung Karno sangat memperhatikan penampilan wartawan yang meliput kegiatannya. Dia tidak segan-segan merapikan kemeja dan dasi para wartawan, sekaligus menegurnya bila berbusana tidak rapi.

Bung Karno juga akan sangat marah bila wartawan salah menulis pidatonya. Lebih-lebih salah dalam menulis kalimat bahasa Inggris. Dia pernah marah ketika ditulis namanya Presiden Ahmad Sukarno. Bung Karno menyebut penulisnya sebagai wartawan tolol. Rupanya wartawan itu meniru sebuah harian di Timur Tengah yang menulis nama Bung Karno dengan tambahan ‘Ahmad’.

Salah satu kesenangan Bung Karno adalah sarapan pagi di beranda antara Istana Merdeka dan Istana Negara, menghadap ke taman hijau luas. Dia sering mengajak wartawan sarapan pagi dengan hidangan pisang uli rebus atau kukus, yang harganya murah. Dia juga berbuat demikian saat sarapan pagi dengan para diplomat asing, seperti Dubes AS Howard P Jones.

Menurut rekan saya, wartawati Antara Ita Syamnsuddin, yang kala itu bertugas di Istana Negara, Bung Karno yang dikenal anti kolonialisme dan imperialisme serta dekat dengan kiri, sangat akrab dengan Dubes AS. Meskipun CIA punya rencana untuk menggulingkan Bung Karno, tapi secara pribadi Dubes AS adalah sahabat karibnya.

Bung Karno, menurut Ita Syamsudin, pernah mengajak wartawan Istana menyaksikan patung-patung yang ada di taman-taman ibukota. Dia hafal nama patungnya, nama pembuatnya, dan siap berkomentar untuk masing-masing patung. Di Monas, Bung Karno membeli rambutan. Kemudian menikmatinya bersama para wartawan.

Tentu, banyak kesan yang tak terlupakan selama delapan tahun menjadi wartawan Istana pada masa Presiden Suharto. Selalu terburu-buru, diuber waktu. Persisnya, harus mengejar dead line, yakni batas waktu kapan laporan atau tulisan harus disiapkan. Sebagai wartawan Antara, saya harus bersaing dengan dua wartawan koran sore Sinar Harapan: Annie Bertha Simamora dan Moxa Nadeak. Begitu acara selesai, setelah Mensesneg Sudharmono SH memberikan keterangan, kami berebutan telepon untuk memberikan laporan kepada redaktur masing-masing di kantor.

Ada suatu hal yang tidak ada lagi sekarang. Di samping budaya telpon, pada masa Orde Baru sering seorang wartawan Antara melakukan peliputan atau membuat berita atas ‘titipan’ atau ‘permintaan’ dari pihak yang berkuasa. Suatu pagi sesudah peristiwa Malari (15 Januari 1974), saya diberitahu atasan ada pertanyaan titipan dari Hankam untuk Jendral TNI Soemitro, Panglima Kopkamtib, yang akan diterima Pak Harto di Cendana. Dia datang bersama Laksamana Sudomo.

Pertanyaan ‘titipan’ itu adalah, ”Benarkah Pak Mitro ingin mengadakan kudeta dengan menggerakkan para mahasiswa sehingga terjadi kerusuhan massal di berbagai tempat. Termasuk pembakaran proyek Senen dan ratusan mobil?” Ketika saya tiba di Cendana semuanya wartawan menyatakan akan menunggu pertanyaan saya. Ketika itu, Pak Mitro membantah keras isu-isu bahwa ia ingin mengkudeta Pak Harto.

Pengalaman tak terlupakan lainnya, adalah ketika motor Honda yang saya parkir di Cendana digilas panser. Ketika menunggu tamu yang diterima Pak Harto, tiba-tiba dari samping kediamannya muncul sebuah panser yang akan diparkir oleh seorang prajurit ABRI untuk menjaga keamanan di kediaman Kepala Negara.

Entah bagaimana, tiba-tiba panser tersebut menggilas motor saya. Tidak cukup sekali, setelah menggilas dengan jalan mundur panser tersebut kemudian melaju ke depan dan menggilas motor saya lagi. Akibatnya, motor saya gepeng seperti kerupuk. Tapi, beberapa hari kemudian saya mendapat ganti motor baru.

Almarhumah Ibu Tien Soeharto juga punya perhatian terhadap wartawan Istana. Dia memberikan kepada para wartawan masing-masing sebuah tape recorder, yang kala itu ukurannya lebih besar dari tape recorder sekarang ini. ”Jangan sampai salah-salah lagi dalam meliput acara Pak Harto,” salah satu pesanannya yang masih saya ingat.

Pak Harto mempunyai seorang juru foto yang tiap acara pasti mendampinginya. Dia adalah Saidi. Dia adalah salah seorang dari sedikit orang yang bisa memerintah presiden. Dia acapkali memerintah agar Pak Harto dan Ibu Tien dengan alasan estitika pengambilan foto atau momentum yang langka berpose begini atau begitu. Presiden dan Ibu biasanya menurut saja apa yang diperintahkan Saidi.

Karena ketika Saidi nenjadi juru foto Istana mula-mula berpangkat kopral, maka rekan-rekan wartawan Istana menjulukinya ‘Kopral Jenderal’.

(Alwi Shahab )

Sumber: http://buhadram.wordpress.com/2007/07/06/meliput-bung-karno-dan-pak-harto/
read more

Orbituary

Dari Tempo Online, 31 Mei 1999

Meninggal
MOXA Henry Nadeak, 57 tahun, yang dikenal sebagai wartawan senior, meninggal dunia di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, Senin, 24 Mei 1999. Mantan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Sinar Harapan itu terkena serangan jantung. Ratusan kerabat hadir di rumah duka, termasuk Sabam Siagian, mantan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, dan Sabam Sirait dari PDI Perjuangan. "Ia adalah wartawan senior yang sangat dihormati oleh para yuniornya," kata Petron Curie, Pemimpin Umum Harian Suara Bangsa, yang juga adik almarhum. 

http://ip52-214.cbn.net.id/id/arsip/1999/05/31/ALB/mbm.19990531.ALB95035.id.html 
read more

Mouwy the mixed breed



Anjing kecil kami mix breed, mirip dalmatian, tapi makin lama bulunya makin panjang dan keriting, jadi susah juga mengidentifikasikannya, dalmatian atau jenis lain. Tapi ya sudahlah, yang penting warnanya putih bersih, dan menjadi primadona di lingkungan rumah.
read more

Memorial Page Alm. Moxa Nadeak--The Official Page--

Blog ini adalah official page dari keluarga besar Alm. Moxa Nadeak di Jakarta. Apabila ada blog lain atau grup Facebook lain selain dari blog ini adalah bukan milik keluarga, dan kami tidak bertanggung jawab atas isinya. Terima kasih.
read more