Wednesday, May 30, 2012

Diskors Karena Imlek, Bagus!

Kronik Pembaruan

Seorang ayah pulang ke rumahnya Rabu (9/2) malam lalu. Putrinya yang bersekolah di suatu SMA swasta di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat, memberitahukan ayahnya, ia tidak akan masuk sekolah esok harinya, Kamis, 10 Februari.

“Kenapa?” tanya sang ayah
“Solider sama teman-teman. Merayakan Imlek,” jawab putrinya satu-satunya itu.

Di SMA swasta yang konon termasuk favorit tersebut, si anak perempuan itu memang merupakan satu-satunya “anak pribumi”. Selebihnya keturunan Cina. Dan si anak perempuan itu pun memberitahukan, 25 dari 43 siswa di kelasnya, sudah sepakat tidak masuk pada hari Kamis itu “untuk merayakan Imlek” yang memang jatuh pada hari tersebut, walaupun guru mereka tidak memerintahkan libur.

“Nggak apa-apa itu…?” tanya sang ayah mencoba menguji kebulatan tekad putrinya dan “kelompok”-nya.

“Nggak apa-apa!” jawab sang putri dan menambahkan, bila ia tidak ikut bolos, akan dimusuhi teman-temannya, dianggap tidak solider.

“Baguslah, kalau begitu,” jawab sang ayah.

Pada hari Kamis itu, si anak memang tidak masuk sekolah.

Jumat pagi (11/2) tiba-tiba ayahnya menerima telepon dari anak perempuannya yang duduk di kelas II SMA itu. Si anak menelepon dari telepon umum dekat sekolahnya.

“Pa, saya diskors Pak Guru dengan teman-teman,” si anak melapor agak gugup, agaknya takut ayahnya naik pitam.

“Kenapa diskors, sayang?” tanya ayahnya.
“Karena tidak masuk sekolah kemarin.”
“Sang ayah ketawa, dan menjawab, “Nggak apa-apa. Berapa kalian yang diskors?”
“Seminggu dan selama itu kami dilarang masuk ke pekarangan sekolah”.

Sang ayah tetap tertawa didengar anak perempuannya itu. Dalam hatinya, si ayah menganggap pengalaman serupa itu perlu untuk anaknya. Skorsing adalah hukuman bagi pelanggar peraturan.

Tetapi si ayah pun berpikir, apakah skorsing seminggu bagi murid sekolah yang dianggap umum favorit itu tidak terlalu lama, apakah tidak akan mengganggu pendidikan anak-anak itu? Apakah hukuman bagi murid yang mulai belajar tentang “solidaritas” dan “demokrasi” sederhana seperti itu, harus begitu lama?

Pembaruan/ Moxa Nadeak
12 Februari 1994

0 comments:

Post a Comment