Friday, June 29, 2012

25 Tahun di “Koran Sore dari Cawang”

Sumber: http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=12691

Jumat, 16-01-2009 09:20:02 oleh: Berthold Sinaulan

Tanpa terasa, 15 Januari 2009 ini, genaplah 25 tahun - ya, seperempat abad - saya bergabung di "Koran Sore dari Cawang". Istilah itu adalah ungkapan beberapa teman untuk menyebut Harian Umum Suara Pembaruan yang kantornya berlokasi di Jalan Dewi Sartika 136-D, Cawang, Jakarta Timur.

Suara Pembaruan sendiri sebenarnya baru berusia 22 tahun pada 4 Februari mendatang. Namun, sebelumnya saya telah berada di lokasi "Koran Sore dari Cawang" itu sejak 15 Januari 1984, ketika diterima bekerja sebagai wartawan Sinar Harapan, harian sore yang paling berpengaruh di Indonesia saat itu.

Adalah sejumlah wartawan senior saat itu, Bapak Daud Sinjal dan Bapak Moxa Nadeak (almarhum), yang mengajak saya bekerja di surat kabar sore itu. Pak Daud adalah saudara sepupu saya, karena ayahnya adalah kakak kandung ibu saya. Sedangkan Pak Moxa adalah wartawan Sinar Harapan yang juga membantu membidani penerbitan surat kabar Persekutuan Sekolah Kristen Djakarta (PSKD).

Surat kabar berbentuk tabloid yang diberi nama Citra Pendidikan itu, merupakan media antarguru dan siswa di sekolah-sekolah di lingkungan PSKD. Terutama untuk para guru dan siswa di sekolah menengah. Belakangan, untuk guru dan siswa TK dan SD, saya mengusulkan diterbitkannya tabloid sejenis yang diberi nama Citra Cilik. Usul itu diterima dan saya pun ikut membantu penerbitan Citra Cilik, karena kebetulan saya juga saat itu menjadi Pembina Pramuka di Gugusdepan Jakarta Timur 1131 yang berpangkalan di TK/SD Kwitang III PSKD di Jalan Slamet Riyadi, Jakarta Timur.

Melalui Pak Daud dan Pak Moxa pula, saya mulai menulis berita di Sinar Harapan. Sebelumnya, saya memang telah menulis di Sinar Harapan, namun baru terbatas pada puisi-puisi remaja di kolom yang diasuh oleh Ibu Poppy Donggo Hutagalung.

Di Sinar Harapan itu juga saya ditempa oleh Pemimpin Redaksi saat itu, Bapak Subagyo Pr. Kebetulan saya telah mengenalnya, karena anak-anak beliau sempat bersekolah di TK/SD Kwitang III PSKD, dan juga bergabung dengan Gugusdepan Pramuka yang ada di sekolah itu. Bahkan Pak Bagyo, demikian panggilan akrabnya, sempat menjadi Ketua Majelis Pembimbing Gugusdepan di sana.

Sebenarnya, sebelum resmi bergabung di Sinar Harapan, selama setahun saya sempat menjadi "Pembantu Berita" di Mingguan Mutiara, salah satu penerbitan dari PT Sinar Kasih yang menerbitkan Sinar Harapan. Saya dan beberapa teman mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang senang menulis, ikut magang di mingguan tersebut, sebelum akhirnya saya ditawari Pak Daud untuk mengirim surat lamaran untuk menjadi wartawan Sinar Harapan.

Begitulah, seperti juga teman-teman wartawan baru di Sinar Harapan, saya memulainya di Desk Kota. Tugasnya adalah meliput berbagai berita di ibu kota Jakarta dan sekitarnya. Namun saya cuma sebentar, karena lalu dipindahkan ke Desk Pendidikan. Pemindahan saya mungkin karena latar belakang saya sebagai mahasiswa Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra UI (FSUI), mengingat Desk Pendidikan juga menangani berita-berita yang berkaitan dengan kebudayaan. Saat itu, Desk Pendidikan memang banyak mewawancarai dan mencari berita dari narasumber yang bekerja di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Bahkan kalau tidak salah sekitar pertengahan 1985, saya sempat ditugaskan mengikuti kunjungan dinas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Prof.Dr. Nugroho Notosutanto, ke Maluku dan Irian Jaya. Saat itu, ikut pula dua wartawan perempuan, Maria Hartiningsih dari Kompas dan Binny Buchori dari Jakarta Post. Ternyata itu menjadi kunjungan dinas terakhir dari Prof.Dr. Nugroho Notosusanto yang telah saya kenal sebelumnya, karena ikut kuliah beliau di FSUI. Tak berapa lama setelah itu, para wartawan dikejutkan dengan berita duka, wafatnya Prof.Dr. Nugroho Notosusanto.

Selain berita-berita mengenai pendidikan, tentu saja saya memanfaatkan latar belakang sebagai mahasiswa arkeologi, untuk menulis pula berita-berita tentang sejarah dan situs-situs purbakala. Saya bahkan pernah memenangkan lomba penulisan tentang Candi Borobudur, sebagai juara kedua dan sekaligus juara harapan pertama dalam lomba yang piagam penghargaannya ditandatangani Direktur Jenderal Kebudayaan saat itu, Prof .Dr. Haryati Soebadio.

Sekadar informasi, saya telah diterima bekerja di Sinar Harapan sewaktu saya masih seorang mahasiswa, dan belum lagi mempunyai ijazah S-1. Berbeda dengan saat ini, seseorang yang ingin menjadi wartawan, terutama di media massa besar, umumnya diminta untuk menunjukkan ijazah S-1 saat melamar bekerja. Saya bahkan sempat diberi cuti sekitar dua bulan pada 1985, karena skripsi belum juga saya kerjakan. Pak Bagyo sempat "mengancam", kalau skripsi tak saya selesaikan, saya tak boleh bekerja lagi di Sinar Harapan. Maka saya pun "ngebut" membuat skripsi, dan tepat 31 Desember 1985 dinyatakan lulus sebagai sarjana arkeologi, setelah skripsi berjudul "Nagarakrtagama Sebuah Tinjauan Jurnalistik" dinyatakan memenuhi syarat oleh sidang penguji, yang terdiri dari tiga arkeolog kenamaan saat itu, Prof.Dr. Ayatrohaedi (almarhum), Prof. Buchari (almarhum), dan Drs. Edhie Wuryantoro.

Selain berita tentang pendidikan dan kebudayaan, sebagai seorang anggota Gerakan Pramuka sejak 1968, berita dan tulisan-tulisan tentang kepramukaan tentu tak luput saya tulis. Beberapa kali saya telah memenangkan penghargaan jurnalistik tentang kepramukaan. Bahkan pada 1995, saya memperoleh Lencana Darma Bakti dari Gerakan Pramuka, juga karena keaktifan saya sebagai wartawan yang sering menulis dan membuat berita kepramukaan.

Sayangnya, Sinar Harapan kemudian dibreidel oleh pemerintah sekitar Oktober 1986. Di sini saya melihat kearifan Pemimpin Umum Sinar Harapan saat itu, Bapak HG Rorimpandey (almarhum) dan Pemimpin Redaksi, Pak Bagyo. Walaupun dibreidel, semua pegawai tetap dipertahankan. Kami masih menerima gaji sebesar 80 persen dari gaji sebelumnya. Padahal, kami ke kantor hanyalah untuk berdiskusi, main catur, dan main ping pong saja.

Beruntung, akhirnya Sinar Harapan diizinkan kembali terbit. Namun namanya harus diubah dan pimpinannya pun harus berubah. Maka, sejak 4 Februari 1987, terbitlah Suara Pembaruan. Seingat saya dari cerita mereka yang lebih senior dari saya, Sinar Harapan tadinya tetap diusahakan terbit kembali dengan nama yang sama. Bahkan salah satu ekonom terkemuka Indonesia, Bapak Radius Prawiro (almarhum), sempat membantu agar Sinar Harapan kembali terbit. Namun Menteri Penerangan saat itu, Bapak Harmoko, kabarnya menjawab singkat dalam Bahasa Belanda, "Als is voorbij" (semua sudah berlalu). Maka, akhirnya yang terbit adalah Suara Pembaruan.

Apa pun itu, saya tetap bergabung di "Koran Sore dari Cawang". Sempat menjadi wartawan mode, menangani rubrik Opini, memegang Suara Pembaruan Minggu, kini saya berkiprah menjadi "penjaga gawang" Desk Olahraga. Suatu hal yang bukan sama sekali baru, karena sewaktu di Mutiara dulu, saya juga sempat beberapa kali meliput dan menulis berita-berita olahraga, termasuk liputan SEA Games di Singapura pada 1983. Walaupun saat itu saya tak seratus persen melakukan liputan, karena terserang sakit di Singapura.

Di luar itu semua, hobi filateli yang telah saya kenal sejak SD ketika ayah saya sepulang dari luar negeri sering membawakan prangko-prangko bekas, kembali "terangkat ke permukaan" sekitar 1987, saat saya bergabung dalam Perkumpulan Filatelis Indonesia (PFI) Cabang Jakarta. Sejak itu juga, saya mulai menulis dan membuat berita tentang hobi filateli. Terlebih lagi sejak 1994, ketika saya dipilih sebagai salah satu anggota Tim Pembinaan Perprangkoan dan Filateli di Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi. Tim yang kini diberi nama Kelompok Kerja Nasional Perprangkoan dan Filateli, bertugas membantu Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi, menyusun rencana penerbitan prangko Indonesia.

Saya juga semakin aktif di PFI, ketika sejak 1990 menjadi salah satu anggota Pengurus Pusat PFI. Terlebih lagi sejak 1995, ketika saya mulai aktif mengikuti pameran-pameran filateli tingkat internasional. Berbagai aktivitas itu membuat saya mempunyai bahan yang cukup banyak untuk menulis beragam hal tentang filateli, yang pernah menjadi rubrik tetap di Suara Pembaruan, dan banyak diminati para filatelis dan generasi muda umumnya.

Begitulah, sekadar catatan kecil setelah 25 tahun bergabung dalam "Koran Sore dari Cawang". Dari kode penulis berita BDHS, lalu BD, sampai B-8, saya lalui seperempat abad dengan ucapan syukur kepada TUHAN yang membuat saya mampu melakukannya.

1 comments:

Unknown said...

Tks share nya pak apakah bapa mengenal baik penulis catur baris hutagalung? Menurut wekipedia, beliau punya sekolah catur di cawang apakah punya alamatnya pak? Tks Gbu

Post a Comment