Friday, June 22, 2012

Warna Dunia Pers Kita Tahun Ini "Serupa & Sama" Dgn Tahun Lalu

CATATAN AKHIR TAHUN SITUASI PERSURATKABARAN KITA

JAKARTA—Adalah Presiden Soeharto sendiri yang menginginkan agar pers tidak bungkem seribu bahasa terhadap kekurangan-kekurangan yang ada. “Di sini saya tegaskan, bahwa kita tidak ingin memiliki pers yang bungkem seribu bahasa terhadap kekurangan-kekurangan yang ada. Yang kita perlukan dalam pers pembangunan adalah berita dan ulasan yang seimbang, jujur, dan bertanggung jawab, sehingga dengan menyadari kekurangan-kekurangan tadi kita tetap tidak kehilangan kepercayaan terhadap masa depan”.

Ini dikemukakan Kepala Negara dalam pidato kenegaraan di depan sidang Dewan Perwakilan Rakyat, 15 Agustus 1981.

Sebelumnya dalam pidato yang sama itu, Kepala Negara mengatakan, pembangunan memerlukan rangsangan-rangsangan baru, kegairahan baru dan kesegaran. Dalam rangka ini, Kepala Negara menegaskan, “besar sekali peranan alat-alat media massa, terutama pers, radio, dan televise”.

Penegasan menjelang peringatan Hari Proklamasi tersebut sebenarnya bukan yang pertama kali untuk tahun 1981. Dalam pidatonya di depan Rapat Kerja Khusus Departemen Penerangan Presiden Soeharto mengatakan para juru penerang tidak perlu menyembunyikan kesulitan dan kekurangan yang dihadapi pembangunan, malah sebaliknya rakyat harus diberitahu mengenai duduk soal kesulitan dan kekurangan itu. “Saudara-saudara semua harus dapat menjelaskan kepada rakyat kemana sebenarnya kita ini akan menuju, sampai tahap mana perjalanan kita sebagai bangsa saat ini berada, harapan-harapan apa yang ingin kita capai di masa mendatang, persoalan-persoalan apa yang sedang dihadapi, langkah-langkah apa yang sedang kita ambil.” Selanjutnya dinyatakan “yang penting adalah bahwa sebagai bangsa kita tidak akan membiarkan kesulitan dan kekurangan tadi berlarut, melainkan kita telah berusaha untuk mengatasinya” (“SH”, 12 Maret 1981).

Apa yang terjadi kemudian dan apa yang menjadi kesimpulan kita dalam kehidupan pers selama tahun 1981 ini tergambar dari kenyataan-kenyataan yang muncul.

Sebulan lebih sesudah peringatan 17 Agustus itu Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika (PPG) membantah kehidupan pers pucat dan lesu. “Saya tidak setuju dengan pendapat sementara kalangan yang mengatakan bahwa kehidupan pers kita pucat dan lesu.” Ini dikemukakan Sukarno SH ketika membuka penataran Grafika Pers tingkat nasional di Bandung (“SH”, 29 September 1981).

Saat itu Dirjen mengingatkan tentang jaminan terhadap kehidupan pers seperti ditetapkan dalam UU Pokok Pers No. 11/ 1966. Kehidupan pers merupakan suatu produk yang bersifat kolektif. Pers akan hidup baik apabila ketiga komponen utama dalam pers yaitu redaksional, pengusahaan dan produksi saling menunjang. Berhasil tidaknya usaha pers terserah kepada ketiga komponen tadi.

Warna “pucat” dan “lesu” tersebut agaknya disatukan dengan kehidupan secara menyeluruh dari pers. Tidak hanya menyangkut ketidakinginan Pemerintah melihat pers yang bungkem tetapi juga terhadap segi-segi pembangunan fisik pers itu sendiri.

Soal bungkem juga agaknya harus diperinci, sebab apa dan untuk apa. Karena itu sukar untuk menyimpulkan tanpa mengkaitkannya dengan situasi-kondisi pada saat bungkem tersebut. Itu pula yang menyebabkan kategori dalam pemberian warna kehidupan pers, apakah benar “pucat” atau “lesu”, ataukah warna-warna demikian dilihat dari kacamata yang “jujur” atau cenderung buta warna.

Berbagai peristiwa muncul dalam tahun 1981 ini, baik menyangkut kejadian-kejadian besar dan kejadian-kejadian umum yang selalu direkam pers sedapat mungkin. Dalam kejadian-kejadian itu dapat dicatat, kebudayaan “telepon” masih berlangsung terus, “himbauan” pun masih mengalir dan papan “off the record” masih menyala seperti lampu lalu lintas di tengah jalan.

Pers Indonesia, karena mengingat “ranjau” yang dapat mengenai dirinya, menempuh jalan tengah, sama seperti telah ditempuhnya pada tahun lalu. Ia lebih mementingkan segi “survive” daripada kepentingan pembacanya, atau kepentingan masyarakat. Ia sebenarnya sadar, hak untuk memperoleh dan menyiarkan indormasi selengkap mungkin bukanlah haknya sendiri, tetapi hak masyarakat.

Ia hidup di tengah masyarakat dan sesuai dengan ketetapan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara ia sadar sebagai pers yang bebas dan bertanggungjawab, “yaitu pers yang dapat menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang obyektif melakukan control social yang konstruktif, menyalurkan aspirasi rakyat dan meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat”.

Jalan tengah yang ditempuh itu kadang menjadi lucu. Ada contoh “memoles sendiri” suatu keterangan agar tidak menjadi “ranjau”. Suatu ketika seorang wartawan membuat berita tentang pernyataan seorang anggota DPR yang cukup keras. Si wartawan ditanya apakah itu benar, dijawab memang demikian. Akhirnya wartawan ini diminta untuk mencek ulang pernyataan anggota DPR itu dan ternyata benar pula. Tapi apa lacur, pernyataan itu muncul di koran dengan polesan yang sempurna hingga isinya biasa-biasa saja!
“Self cencorship” atau “self restraint” agaknya sudah membudaya di kalangan pers tertentu. Agaknya ia menjadi partner yang baik dari kebudayaan telepon. Masyarakat memperoleh keterangan atau informasi yang tidak lengkap. Kadang-kadang “proses pengurangan” itu hanya berlangsung pada soal “color” tapi sering pula pada isi sebenarnya.

Pers sekarang hanya berani mengungkap sesuatu yang tidak dilarang, walaupun kadang-kadang tampak seperti dipaksakan, seolah-olah meminta pembacanya, inilah yang perlu and abaca hari ini.

Ada kecenderungan yang masih memerlukan penelitian, terjadi kejenuhan dalam membaca koran. Seorang ibu rumah tangga mengatakan ia hanya tertarik membaca berita-berita ringan, berita-berita hiburan dan kecelakaan serta kriminalitas sebab, katanya, berita-berita lain dianggap tidak menarik.

Ini dapat dibuktikan bahwa harapan Unesco sebuah koran dapat dibaca oleh sepuluh penduduk belum pernah tercapai dan kini jumlah oplaag koran kita masih sekitar 3 juta. Bila harapan lembaga PBB itu akan tercapai berarti oplaag tersebut sudah harus puluhan juta.

Pembatasan-pembatasan redaksionil agaknya dapat dicatat masih tetap pada keinginan Pemerintah agar bersama-sama dengan pers menjaga kestabilan di berbagai bidang. Keinginan ini disampaikan dengan “telepon” dan “himbauan” serta “off the record” tapi dalam forum-forum resmi muncul pernyataan-pernyataan yang bertentangan dari keinginan itu.

Kehidupan pers menjadi “tidak bebas” tetapi “bertanggungjawab” terhadap keinginan “telepon”. Ia berdiri di tengah hak masyarakat untuk memperoleh indormasi di tengah keberadaan dirinya yang tidak punya kekuatan apa-apa. Alasan untuk menyebut ketidak adaan kekuatan itu antara lain ialah belum disempurnakannya UUP Pokok Pers.

Seorang pimpinan beberapa kali dalam tahun ini, sama seperti tahun sebelumnya, mengingatkan wartawan-wartawan dan redaktur-redakturnya untuk tidak terlalu berani, tetapi lebih memikirkan segi “survive” dari pada mementingkah hak pembacanya. Bila anda dibreidel, belum tentu barisan yang mengantar mayat koran anda ke pekuburan akan cukup panjang, katanya.

Ia bukanlah suatu apologi untuk pembaca, hanya sebuah cermin keadaan bahwa apa yang dapat terbaca tahun ini merupakan usaha maksimal yang dapat diusahakan sementara pers di negeri kita. Lantas warna apa yang harus diberikan terhadap situasi seperti ini. Warna melankoliskah, seperti “lesu”, “kurang darah” atau “pucat”?

UU Pers
Dunia pers Indonesia menggantungkan nasibnya kepada UU Pokok Pers, No. 11/1966. Semua pihak mengizinkan agar UU ini segera disempurnakan, mengingat berbagai hal menyangkut kehidupan pers di dalamnya sangat tidak memberi peluang untuk “bebas dan bertanggung jawab”. Salah satu di antaranya ialah Peraturan Peralihan (Bab IX) yang menyebutkan keharusan mendapatkan Surat Ijin Terbit (SIT) masih berlaku sampai ada keputusan pencabutannya oleh Pemerintah dari DPR (GR).

Peraturan peralihan ini menjadi “pengganggu” dari ketentuan yang sudah disebutkan sebelumnya pada pasal-pasal lain. Umpamanya, bila SIT masih diperlukan berarti pasal 4 yang berbunyi: “Terhadap pers Nasional tidak dikenakan sensor dan pembreidelan”, menjadi bertentangan. Dunia pers sadar pencabutan SIT adalah sama dengan pembreidelan.

Ini juga bertentangan dengan pasal 8 yang berbunyi: “Setiap warga negara mempunyai hak penerbitan pers yang bersifat kolektif sesuai dengan hakekatnya “Demokrasi Pancasila”. Ayat berikutnya berbunyi “Untuk itu tidak diperlukan Surat Ijin Terbit”.

Di samping itu penyempurnaan UU ini didasarkan pula akan beberapa istilah Orde Lama yang sudah tidak pada jamannya lagi, seperti “alat revolusi”, “progresif revolusioner” dan semacamnya.

Hal lain yang menjadi pembicaraan sehubungan akan diundangkannya RUU Hukum Acara Pidana ialah menyangkut “hak ingkar” yang dalam UU ini disebut sebagai “hak tolak”. Dalam pasal 15 ayat 5 disebutkan “dalam mempertanggungjawabkan sesuatu tulisan terhadap hukum, Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi, anggota Redaksi atau penulisnya mempunyai hak tolak”. Tidak ada penjelasan akan ayat ini, tetapi bila diinginkan agar tetap ada bila UU ini disempurnakan kelak.

Pembatasan
Keputusan tentang pembatasan halaman merupakan hasil sidang pleno ke-21 Dewan Pers yang berlangsung tanggal 18-20 Pebruari di Bandung. Di sana ditetapkan jumlah halaman tiap kali terbit. Bersamaan dengan itu perbandingan volume berita dan iklan pada setiap surat kabar maksimal 70 pCt berbanding 30 pCt. Pertimbangan untuk pembatasan volume ini, disebutkan demi adanya keseimbangan pertumbuhan pers nasional dan sesuai dengan consensus antara SPS – PWI – SGP – Dewan Pers dan Departemen Penerangan. Selain itu juga, demi berlangsungnya azas pemerataan di bidang periklanan sesuai dengan keputusan Konres SPS ke-15 di Bandung, 5-8 Juni 1974.

Ketua Harian Dewan Pers BM Diah dalam keterangannya mengatakan hal yang sama, yaitu semata-mata demi tercapainya azas pemerataan dalam usaha menunjang pembangunan pers secara keseluruhan. Selama ini, katanya, terjadi adanya kompetisi yang tidak sepadan, yang satu cepat sedang yang lainnya lamban. “Tapi itu bukan berarti membelenggu kemajuan pers nasional”, katanya. (“SH”, 21 Pebruari 1980).

Perkembangan selanjutnya memberi peluang, yaitu perbandingan volume iklan dengan berita diperkecil, iklannya diijinkan boleh sampai persentase tertentu. Tapi dalam jumlah halaman belum ada penambahan. Ini mengakibatkan ada koran yang menzet berita dan ulasannya dengan huruf yang lebih kecil. Jelas ini akan mengganggu day abaca mereka yang berusia lanjut dan mereka yang baru belajar membaca. Ada pendapat yang mengatakan, hal itu membuat hanya mereka yang benar-benar “terlibat” dalam berita atau ulasan tersebut yang membaca huruf-huruf kecil seperti itu.

“Telepon” dan “himbauan”
Penutup tulisan ini ialah sejumlah daftar “telepon” dan “himbauan” yang dicatat dan tanpa menyebut sumber serta isi lengkapnya sampai dengan bulan Nopember tahun ini. Ini mengingatkan kita akan daftar dan himbauan yang juga diterima selama tahun lalu.

Januari: Seorang Perdana Menteri negara sahabat berkunjung ke Indonesia. Himbauan waktu itu agar pers menyiarkan berita-berita yang faktuil yang bersumber pada pernyataan resmi. Tanggapan-tanggapan yang dianggap negative meskipun datang dari anggota-anggota DPR agar ditunda. Demikian juga pemberitaan-pemberitaan mengenai tindakan-tindakan jika sampai timbul insiden. Seorang Dirjen ketika itu mengatakan “jangan sampai ada pemberitaan yang dapat menyusahkan sehingga pers disalahkan.”

Seruan mengenai iklan juga muncul bulan ini. Bunyinya agar tidak memuat iklan mengenai luar negeri, seperti tentang shopping center, hotel-hotel, kursus yang merangsang orang untuk berbelanja/ bersenang-senang di luar negeri. Ini dimaksudkan untuk menunjang pola hidup sederhana.

Suatu kegiatan dari sekelompok tokoh yang mendatangi DPR dinyatakan tidak boleh diberitakan.

Pebruari: Berita sekitar sebuah rumah sakit di Sumatera dilarang.

Ada kegiatan olah raga di Bali. Salah satu pesertanya dari satu negara di suatu benua. Berita kegiatan itu boleh disiarkan tetapi tentang negara asal peserta tersebut dilarang.

Kegiatan seorang pejabat suatu negara di benua yang sama yang ingin mempelajari cara menasionalisasi perusahaan juga dilarang.

Sekitar penolakan suatu perpanjangan visa seorang wartawan dihimbau agar “membantu menjaga persahabatan” dengan negara tersebut.

Tidak mengutip berita tentang hasil sensus yang diberitakan sebuah harian ibukota. Dan agar menunggu hasil sensus resmi.

Suatu peristiwa di suatu daerah Jawa Timur diminta untuk tidak disiarkan. Menurut keterangan, suatu majalah mingguan sampai tidak dapat beredar karena terlanjur sudah memuat laporan peristiwa itu. “Nanti akan ada pertemuan mengenai kasus ini,” kata pejabat yang menelepon tersebut. Khusus untuk peristiwa ini tiga instansi menelepon agar peristiwa tersebut tidak diberitakan.

Maret: Suatu peristiwa di Bandung cukup menghebohkan sampai-sampai dua suratkabar, masing-masing di Bandung dan Medan mendapat peringatan keras karena memuat laporan tentang itu. “Berita ini untuk sementara, dari mana pun sumbernya, dinyatakan off the record”, kata seorang pejabat sebelumnya.

Terjadi suatu perkelahian antar dua kelompok di suatu propinsi bagian Selatan Sumatera, karena menyangkut SARA, pers dihimbau untuk tidak memberitakannya.

Peristiwa pembajakan pesawat Garuda merupakan berita besar tahun ini. Peringatan pertama yang muncul setelah pembajakan itu ialah agar hanya memuat pernyataan-pernyataan resmi. Tapi kemudian mendapat perbaikan, dapat diikuti, dengan catatan harus mengikuti petunjuk Kopkamtib.

Cukup tragis, sebuah koran ibu kota sampai-sampai memuat berita yang sama, sehari dan dua hari setelah peristiwa itu. Ini, agaknya akan merupakan suatu contoh aneh bagi kalangan yang mempelakari sejarah jurnalistik di Indonesia!

Surat-surat kabar cukup bertanggung jawab dan sadar, bahwa berita ini belum saatnya dibumbui dengan pernyataan-pernyataan politik, yang kemudian ternyata benar. Tapi yang lucu, ada sementara pejabat yang menginginkan agar “kekuatan” yang mendalangi peristiwa ini disebarluaskan, “ini adalah persoalan serius bagi kita dan sadar bahwa kegiatan mereka itu sudah mulai meningkat…”

Sebuah pesawat kecil jatuh di Timor Timur. Ini ditelepon untuk tidak diberitakan.

April: Berita tentang meninggalnya seorang prajurit di suatu negara tetangga dilarang diberitakan.

Satu istilah tentang suatu gerakan yang dianggap mengganggu ketertiban dan keamanan dilarang untuk dipakai dalam pemberitaan kecuali mendapat ijin.

Suatu symposium berlangsung di Deplu, diminta agar beritanya tidak disiarkan.

Mei: Suatu pertemuan antara suatu fraksi di DPR dengan anggota suatu yayasan agar jangan disiarkan. Diingatkan, consensus tentang “tidak menyiarkan” kegiatan yayasan ini tetap berlaku.

Muncul permintaan agar pemberitaan mengenai tenaga kerja di negara tetangga dikurangi. Bersamaan dengan ini diminta agar istilah-istilah resah dan keresahan yang dianggap mempunyai “psychological impact” dan “political impact”, diganti dengan “perselisihan….”, atau dalam bahasa asing “…unrest”.

Ada demonstrasi pengrusakan di sebuah pulau Indonesia bagian Timur dilarang disiarkan.

Juni: Komentar-komentar, tanggapan, sorotan tentang buku karangan seseorang serta tentang peredaran dua bukunya dilarang diberitakan.

Kegiatan intern dalam suatu partai politik berupa suatu konperensi pers, dilarang untuk disiarkan. Kegiatan ini dianggap sebagai “tandingan”.

Jatuhnya sebuah pesawat di Jawa Tengah dilarang diberitakan.

Dua pesawat berserempetan di udara Jawa Tengah. Berita ini baru dapat diberitakan beberapa hari kemudian.

Tertembaknya seorang oknum pada malam HUT suatu kota dilarang diberitakan.

Juli: Dua negara sahabat yang bertetangga saling menyerang lewat pernyataan masing-masing. Pers dihimbau untuk tidak melayaninya agar tidak menjadi ajang pertikaian kedua negara sahabat tersebut.

Rupanya ada selebaran gelap beredar di ibukota. Pers dihimbau untuk tidak memuatnya.

Kegiatan suatu buruh casino dilarang diberitakan.

Agustus: Seorang oknum tertembak. Dilarang diberitakan.

Kasus pembelian kapal Tampomas, dengan alas an agar proses penanganannya lancer, untuk sementara diminta tidak diberitakan dulu, kecuali keterangan tersebut bersumber dari instansi itu.

“Bila diberitakan, yang dicari akan semakin jauh,” demikian bunyi telepon yang meminta agar berita sekitar penyelundup emas yang jadi buronan jangan diberitakan.

Lagi-lagi diingatkan bahwa consensus sekitar tidak memberitakan kegiatan suatu kelompok yang menemui DPR dilarang diberitakan.

Ada oknum yang mengadakan hubungan gelap di suatu motel, dilarang diberitakan “sebab masih dalam proses perdamaian”.

Seorang oknum tertembak, jangan dimuat.

Himbauan untuk tidak memuat berita tentang uang palsu.

September: Lagi ada delegasi kecil ke DPR, tapi pernyataan mereka ditandatangani puluhan orang, dilarang diberitakan.

Lagi, sebuah pesawat jatuh, dihimbau untuk tidak diberitakan ditambah dengan “sampai ada press release resmi”.

Suatu surat edaran diminta untuk tidak dimuat dulu.

Sebuah kapal terdampar di suatu negara tetangga. Kejadian ini diminta untuk tidak diberitakan.

Oktober: Ada perkelahian antara oknum dengan oknum di Medan. Dilarang diberitakan.

Lagi sebuah pesawat jatuh. Sama seperti sebelumnya, dilarang dimuat.

Peristiwa rasialis di Solo dilarang diberitakan. Larangan ini datang dari dua instansi.

Peristiwa yang mirip juga terjadi di Banda Aceh, juga dilarang diberitakan.

Ada kejadian ketika ujian penerimaan calon pegawai sipil suatu departemen berlangsung. Ini dilarang disiarkan, tetapi terlambat.

Muncul lagi suatu kejadian di Jakarta Utara, diissuekan ada korban yang jatuh. Sambil membantah bahwa issue itu tidak benar, kejadian tersebut pun dilarang diberitakan.

Nopember: Berita tentang perkelahian antara suatu golongan dengan sekelompok abang beca di Jakarta, dilarang diberitakan. Memang, ini jelas menyangkut SARA.

Mungkin akan merupakan berita kriminil terbesar tahun ini bila kejadian ini dapat diberitakan. Yang kecurian justru yang bertugas membasmi pencurian! Pencurian ini terjadi pada saat ramai-ramainya instansi itu melacak kasus mayat yang terpotong-potong di pinggir jalan protocol Jakarta, Jenderal Sudirman.

Suatu kantor angkatan yang sama terbakar di daerah Sulawesi Tenggara, dilarang diberitakan. Ada lagi perkelahian antar oknum. Tidak boleh diberitakan.***

22 Desember 1981

0 comments:

Post a Comment