Friday, June 29, 2012

Supardan: Isu “Ketidakadilan Global” Harus Dikembangkan Menyongsong KTT Nonblok Tahun 1992 di Jakarta

Jakarta, 7 September

Dengan makin hilangnya ideology yang dihadapi oleh gerakan Nonblok, Indonesia sebagai tuan rumah KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Nonblok, harus mengembangkan isu “ketidakadilan global” sebagai pencerminan pemikiran-pemikiran negara-negara anggotanya. Isu pembagian “kue internasional” atau penanggulangan “penderitaan internasional” perlu dikembangkan pada KTT tersebut.

Pendapat di atas dikemukakan Drs. Supardan, anggota MPR, pernah menjabat Sekretaris Asia dari Federasi Mahasiswa Kristen se-Dunia (World Student Christian Federation), mantan anggota PP GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) dan kini menjadi calon legislative dari PDI (Partai Demokrasi Indonesia).

Supardan mengemukakan hal itu dalam diskusi Yayasan Komunikasi di Jakarta, Jumat petang (4/10) dengan moderator Sabam Sirait. Diskusi itu diselenggarakan menyongsong KTT Nonblok tersebut, di Jakarta pada tahun 1992. Yayasan Komunikasi adalah suatu yayasan yang dibentuk oleh DPP Parkindo (Partai Kristen Indonesia) tanggal 21 Februari 1969 sebelumnya partai itu berfusi ke dalam PDI tahun 1973. yayasan itu bertugas meneruskan cita-cita Parkindo dalam bidang non politik praktis.

Supardan mengatakan, adalah wajar muncul pertanyaan, kenapa Indonesia bersedia menjadi tuan rumah KTT Nonblok, sementara trend blok-blokan itu mulai susut—walaupun masih ada tetapi tidak lagi secara ideologis, bergeser kepada ekonomi. Dulu Nonblok merupakan reaksi terhadap dua blok (kapitalis dan komunis), oleh negara-negara Asia-Afrika dan Amerika Latin. Tetapi pada waktu itu tidak jelas juga apa konsep ideologis dari gerakan Nonblok itu. Kalau ideology itu disusun sebagai antikapitalisme dan anti-komunisme, ideology apa itu, tanya Supardan.

Ia mengatakan, barangkali dapat dianggap, Bung Karno berusaha menjembatani kedua ideology kedua blok itu dengan memperkenalkan Pancasila.

Sistem Ekonomi
Kalau dilihat dari system-sistem ekonomi yang berkembang, kelihatannya pembentukan Nonblok juga merupakan reaksi terhadap system ekonomi kedua blok itu. Sedang dari segi keanggotaan, Nonblok mempunyai anggota yang campur aduk, sehingga usaha mencari identitas gerakan itu secara akademis tidak begitu jelas. Yang dapat dikatakan, hanya dari segi politik praktis, sebagai upaya dari kelompok-kelompok negara yang muncul setelah Perang Dunia II untuk memainkan “kartu-kartu” ketika perang dingin berlangsung.

Setelah perang dingin mulai susut, muncul kerja sama antara negara-negara dari blok yang satu dengan negara dari blok yang lain dan muncullah perusahaan-perusahaan multi nasional (MNC-multi national corporation). Sekarang kita lihat ada proses tarik-menarik kekuatanp-kekuatan dunia yang sebenarnya tidak sepenuhnya dikendalikan oleh negara-negara yang sedang berkembang. Dengan kata lain, sudah ada pergeseran bukan lagi dalam bidang ideology, tetapi ekonomi. Dunia ini dilihat sudah tidak lagi sebagai wajah politik, kata Supardan.

Ketidakadilan Global
Dengan demikian, ancaman yang dihadapi Nonblok dewasa ini bukan lagi ancaman ideology tetapi masalah ekonomi. Nonblok ingin mengusahakan atau “memaksa” agar “kue internasional” itu terbagi sehingga kesenjangan-kesenjangan tidak terjadi dan masing-masing pemerintah-pemerintah negara berkembang itu menjadi “aman”.

Dengan ringkas, negara atau pemerintah yang termasuk dalam Nonblok gaya baru atau yang sudah dalam pengaruh globalisasi harus berusaha menahan tarikan dari arus MNC. Kenetralan itu menjadi mempunyai arti kemampuan mempertahankan identitas. Kemudian, KTT Nonblok nanti harus berhasil menciptakan isu bahwa ancaman baru ideology itu adalah iklim “ketidakadilan global”. Hal yang serupa juga merupakan pengalaman yang dialami negara maju seperti AS yang tidak kuat terhadap rongrongan MNCs sendiri.

Kita sekarang harus berpikir tidak lagi menghadapi ancaman kapitalisme atau komunisme, tetapi bagaimana melakukan distribusi dari wealth of nations (kekayaan bangsa-bangsa).

Dengan demikian muncul pertanyaan, apa keuntungan Indonesia memimpin Nonblok pada saat glamour dari Nonblok itu tidak ada lagi, atau kenapa mau mengambil risiko atau menegakkan “benang basah” dalam proyek yang dikatakan bukan “mercu suar” itu.

Indonesia
Pemerintah Indonesua tentu ingin mencari peluang mencari simpati internasional untuk menyakinkan dunia bahwa Indonesia dapat menjadi contoh model pembangunan. Dalam kaitan itu, Indonesia perlu menyuarakan isu “ketidakadilan global”, sehingga kesempatan sukses obyektif KTT itu masih terbuka. Pengembangan atau penyuaraan isu seperti akan merupakan sumbangan yang obyektif, mempertemukan pikiran-pikiran yang berkembang di negara-negara berkembang Indonesia harus menyuarakan penanggulangan terhadap “ketidakadilan global” itu, tidak lagi ideology per se, kata Supardan.

Supardan menambahkan, terdapat tiga komponen dalam kehidupan gerakan Nonblok, yaitu negara-negara/ pemerintah, MNCs dan rakyat atau masyarakat dari anggota-anggotanya. Komponen masyarakat dapat dikatakan lemah di semua negara anggota, karena proses imperialisme baru yang sebenarnya juga sebagai proses globalisasi uang sudah lama. Dengan demikian perlu dipertanyakan bagaimana KTT itu mencerminkan masyarakat dari negara-negara anggota, atau suatu pencerminan dari “penderitaan internasional,” kata Supardan. (M-1)

Suara Pembaruan/ Moxa Nadeak
7 September 1991

0 comments:

Post a Comment