Wednesday, June 27, 2012

Mantan Jagoan Jalanan

Kronik Pembaruan

Saddam Hussein, usia 53 tahun, yakin bahwa kekerasan adalah alat utama untuk mencapai karier politiknya, yang dimulainya tahun 1959 ketika ia menyemprotkan peluru senapan mesin ke limousine yang ditumpangi Presiden Irak ketika itu Abdel Karim Kassim. Tetapi rencana pembunuhan dan kudeta itu gagal, demikian Jim Hoglad, wartawan LAT-WP, dalam suatu tulisan box majalah mingguan Gulf Weekly pekan ini. Judul tulisan itu: This Ex-street Tough.

Ia saat itu adalah mahasiswa fakultas hukum, satu dari tiga orang yang merencanakan kup itu. Ia berlari meninggalkan tempat itu dan memanggul taksi. Ia tidak ke dokter tetapi mengorek sendiri peluru pistol yang bersarang di pahanya dengan pisau saku. Lalu lari ke luar negeri. Ia tinggal di Damaskus dan Kairo sebelum pulang ke Irak pada tahun 1963 setelah para perwira Angkatan Darat yang didukung oleh Partai Baath membunuh Abdel Karim Kassim.

Tetapi para perwira itu kehilangan kekuasaan mereka sembilan bulan kemudian dan Saddam ditahan setelah seharian baku tembak dengan polisi. Ia lari dari penjara tahun 1965, dan mendapat pengampunan setahun, setelah pemerintah mengira ia masih muda. Sejak saat itulah perkiraan terhadap Saddam selalu meleset.

Ia menyatakan setia pada garis sosialis Partai Baath, tetapi impiannya sejak lama adalah kekuasaan, sementara ideology bolehlah untuk Irak sendiri. Tahun 1972 ia menduduki dua posisi dalam pemerintahan rezim Baath dan menjadi penasehat pada usaha menasionalisasi perusahaan minyak Inggris, Iraq Petroleum Co.

“Pengambilalihan itu, kata Saddam dalam wawancara dengan saya tiga tahun kemudian di Baghdad, merupakan keputusan penting dalam karier politiknya. Setelah masa krisis yang pendek, Inggris menerima nasionalisasi itu dan bersedia membuka usaha baru kembali di Irak,” tulis Hogland.

“Percakapan kami berlangsung sesaat setelah Iran dan AS menghentikan bantuan mereka untuk pemberontak Kurdish yang bangkit melawan Baghdad tahun 1973. Pengkhianatan ini memperkuat keyakinan Saddam bahwa Barat bisa saja terlibat dalam suatu konfrontasi. Tetapi ia juga menunjukkan fleksibilitasnya dalam ideology. Ia mengharapkan hubungan dengan AS dinormalisasikan, dan bila Shah Iran jatuh, kaum Shiah pimpinan Ayatollah Khomeini akan berkuasa di Teheran.”

Munculnya sikap anti-AS di Teheran mewarnai hubungan Irak-AS, membuat Washington lebih hati-hati untuk menantang akal bulus Saddam dan usahanya untuk memiliki senjata kimia serta senjata nuklir.

Didorong oleh penilaian Washington dan orang-orang Iran di pengasingan bahwa rezim Khomeini akan segera jatuh, tahun 1980 Saddam menyerang Iran, melancarkan perang delapan tahun yang memerosotkan perekonomiannya tetapi malah membangun pasukan Angkatan Darat dengan sejuta prajurit.

Dengan lenyapnya Shah Oran, tokoh yang pernah menawarkan perlindungan kepada negara-negara kecil di Teluk Persia Iran, Irak muncul sebagai singa lapar di tengah-tengah domba itu adalah Kuwait. Ini merupakan fenomena pencapaian tujuan dari mantan jagoan jalanan ini (this ex-street tough).

Tetapi hukum Napoleon, bahwa seorang dictator tak dapat berbuat apa-apa dengan bayonet, kecuali duduk di atasnya, juga berlaku bagi Saddam. Dunia memikul tanggung jawab untuk membuktikannya, tulis Jim Hogland.

Suara Pembaruan/ Moxa Nadeak
14 Agustus 1990

0 comments:

Post a Comment