Tuesday, June 26, 2012

UKSW Rayakan Dies Natalis Ke-31 Tidak Harus Lekas Puas Dengan Air Yang Ditemukan Pada Permukaan

SALATIGA—Hari Senin 30 Nopember 1987, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) merayakan Dies Natalis (Hari Ulang Tahun) ke-31 dan Minggu malam 29 Nopember, pertemuan studi Notohamidjojo Memorial Lecture yang telah berlangsung sejak Kamis pekan lalu ditutup.

Tidak ada uraian rinci, tidak ada rekomendasi dan tidak ada target yang dicapai, kecuali pemahaman dan penelitian terhadap wawasan salah seorang pendiri dan rector pertama universitas itu, Oeripan Notohamidjojo. Rincian, laporan dan pembahasan selengkapnya dari pertemuan studi itu akan diterbitkan oleh Yayasan Bina Darma bekerja sama dengan UKSW, sebagai badan-badan penyelenggaranya.

Ada kesan khas dari universitas ini. Ia tidak hanya sebuah perguruan tinggi sebagaimana perguruan tinggi lainnya. Ia mendasarkan keberadaannya pada Kekristenan. “Takut Akan Tuhan Adalah Permulaan Pengetahuan” (Amsal 1:7A), adalah dasar lembaga pendidikan ini, karenanya ia mengemban tuntutan yang plus, atau sebagaimana dikemukakan Dr. Wili Toisuta, Rektor UKSW pada pembukaan pertemuan studi di atas, yang diambil dari pandangan Notohamidjojo sendiri, “Membentuk Manusia Yang Ahli Dalam Bidangnya Tetapi Sekaligus Sensitif Secara Spiritual dan Moral”.

Itulah barangkali yang tersirat dalam khotbah pada kebaktian Dies Natalis malam Minggu, agaknya tengah muncul berbagai kritik dalam kehidupan universitas ini. Padahal kini telah mempunyai nama di antara perguruan-perguruan tinggi Indonesia. Tidak hanya itu, mempunyai reputasi dan telah menghasilkan puluhan doctor dan ratusan sarjana. Apa yang tengah berlangsung itu—yang hanya kita siratkan dari khotbah sang pendeta—tentu persoalan intern UKSW.

Bagi awam, apa yang terjadi itu adalah konsekuensi dari perkembangan dan kemajuan universitas itu sendiri di tengah-tengah kehidupan bangsa yang juga mengalami kemajuan, tidak hanya dalam pembangunan, tetapi juga perubahan nilai-nilai. Notohamidjojo sendiri telah mengungkapkan adanya perkembangan itupada tahun 1973, pada hari Dies Natalis UKSW, ‘Le Mouvement C’Est La Vie’. Hidup itu gerak, perlu dijelaskan bahwa dalam keberadaan tujuhbelas tahun gerak Satya Wacana tidak hanya bersifat kuantitatif melainkan kualitatif.

Dikaji

Oeripan Notohamidjojo sebagai salah seorang pendiri dan rector pertama (kedua Dr. Sutarno, ketiga—sekarang Dr. Willi Toisuta) menjadi tokoh sentral dalam pertemuan studi yang memang mengambil namanya ‘Notohamidjojo Memorial Lecture’, dalam mana gagasan, wawasan-wawasannya diteliti, didiskusikan dan relevansi gagasan atau wawasan itu dipertanyakan serta kemungkinan-kemungkinan pengembangannya dikaji.

Tokoh Notohamidjojo, memang tokoh yang khusus. Saksi hidup yang hadir di pertemuan ini RM Soebantardjo, kini berusia 74 tahun, pensiunan dosen sejarah menguraikan siapa Notohamidjojo, yang pada tahun 1929 bersama-sama hendak menempuh ujian masuk Christekijke HIK (Holands Inlandse Kweek School), sekolah guru Kristen di lokasi Christekijke MULO (SMP Kristen) di Villapark, Surakarta. Soebantardjo menyatakan, Notohamidjojo sebagai anak yang sopan, ramah, dan unpretentious.

Sekaligus saya tertarik kepada pribadinya. Lebih tertarik lagi ketika hasil ujian diumumkan. Ia lulus nomor satu. “Jadi ia anak yang pandai juga,” kata penulis buku sejarah yang amat terkenal di tahun 60-an ini.

Soebantardjo bercerita lagi. Pada tembok sebelah kanan pintu masuk aula pintu masuk aula Chistelijke HIK, itu tertempel selapis marmer dengan tulisan: ‘de Vreeze Des Heren Is Het Beginsel Der Wijsheid’ (Takut akan Tuhan adalah pangkal segala kebijaksanaan), yang merupakan dasar yang dianut pendiri-pendiri lembaga pendidikan itu. ‘Saya tertarik pada kata-kata itu. Terbukti Pak Notohamidjojo pun terkesan juga, bahkan sangat terkesan…’ Notohamidjojo tanggal 17 Oktober 1956 mengambil ayat itu sebagai dasar dari perguruan tinggi pendidikan guru Kristen Indonesia (PTPG-KI) di Salatiga yang kemudian berkembang menjadi UKSW.

Tinggal bersama di satu arama, kedua remaja yang bersahabat ini bertemperamen yang berbeda. ‘Kalau saya selalu menyibukkan diri dengan bermacam-macam olah raga, Pak Notohamidjojo selalu sibuk dengan pelajarannya’.

“Ketekunan belajar dan rasa tanggung jawab terhadap apa yang menjadi tugasnya memang mengagumkan. Ini boleh dicontoh oleh generasi muda atau generasi penerus jika ingin ikut membangun negara dan bangsanya menjadi bangsa yang maju, makmur, dan bahagia,” kata orang tua yang masih sehat wal afiat ini. Orang tua ini menyaksikan kegigihan rekannya itu. Katanya, ia tidak jarang belajar sampai pukul tiga pagi dengan jongkok membaca di dekat kamar mandi sebab lampu asrama sudah dimatikan pada pukul sepuluh malam.

Pertemuan studi Notohamidjojo Memorial Lecture mencatat lebih luas dan lebih sistematik wawasan dan gagasan Notohamidjojo, khususnya menyangkut pemimpin dan Pembina pemimpin karena pertemuain itu mengambil thema sekitar itu.

Konsep kepemimpinan almarhum melihat masa depan yang dikajinya dalam perspektif iman. Dalamnya tercakup unsure-unsur konseptual seperti maksud dan tujuan pemimpin dan bagaimana sikap pemimpin terhadap penganut (pribadi) dalam merealisasikan maksud dan tujuan tersebut. Kepemimpinan dituntut untuk memperkaya kepribadian para penganutnya.

Notohamidjojo juga menonjolkan bahwa factor terpenting dalam kepemimpinan ialah kewibawaan dan itu penting dalam relasi dengan manusia secara horizontal.

Fungsi-fungsi kepemimpinan (A) pembawa gagasan tentang rumusan jalan keluar terhadap tantangan masyarakat dan budaya, (B) sadar terhadap tendensi perubahan dalam masyarakat, (C) berperan dalam menyiapkan dan mewujudkan perubahan, (D) mampu memberikan bimbingan kepada massa yang pasif sehingga menjadi penganut yang aktif dalam proses perkembangan, dan (E) tut wuri handayani.

Notohamidjojo menganut paham konvergensi tentang pembentukan pemimpin. Pendidikan (dan pengaruh dari luar) mempunyai peranan yang tidak mutlak sehingga hanya bisa mengembangkan bakat kepemimpinan yang telah dibawa seseorang sejak lahir. Dalam kenyataan, terwujudnya seseorang yang telah mengalami latihan pembinaan sebagai pemimpin bergantung juga pada bakat dan kesempatan. Kalau kesempatan terbuka bersamaan dengan tersedianya orang yang berbakat dan mau melakukan kepemimpinan, maka muncullah pemimpin. Strategi pembinaan kepemimpinan dilakukan melalui dua hal, secara formal dan non-formal.

Itulah garis besar kajian dari pertemuan studi itu. Apa pun yang dapat dikembangkan dari sana, banyak tergantung kepada kemauan ‘penganut-penganut’ Notohamidjojo, baik sebagai pribadi maupun sebagai institusi, seperti lembaga yang merupakan buah tangannya sendiri: UKSW.

Agaknya apa yang dikemukakan Probowinoto dalam usaha penggalian harta spiritual dari Notohamidjojo haruslah bagaikan orang yang menggali sumur, tidak harus lekas puas dengan air yang ditemukan pada permukaan. Juga jangan lekas puas dengan memahami buah pikiran almarhum, yang terdapat di berbagai tulisannya. Kita harus menggali terus sampai kita mencapai sumber dari mana pandangan hidupnya berawal, sebab maksud kita bukanlah mengagungkan (kultus individu) Notohamidjojo, melainkan Tuhan, yang dihadapannya Notohamidjojo hanya sama dengan uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.

Suara Pembaruan/ Moxa Nadeak

2 Desember 1987

0 comments:

Post a Comment