Tuesday, June 19, 2012

Makan Pakai Otak, Bung!

(Catatan Ringan dari Kunjungan Presiden Soeharto)

Pengantar:
Kunjungan Presiden Soeharto ke lima negara, dua Amerika Latin dan tiga di Afrika, dari tanggal 19 November hingga 12 Desember telah berakhir. Wartawan Pembaruan yang mengikuti kunjungan itu menuliskan catatan-catatan ringannya di bawah ini. --Redaksi

JAKARTA--Kalimat "Makan Pakai Otak, Bung!" ini mula-mula berasal dari rekan Saur M Hutabarat, yang mewakili majalan mingguan Editor dalam kunjungan Presiden Soeharto ini. Ia mengatakan itu kepada rekan-rekannya pada hari pertama rombongan tiba di Mexico City, negara pertama yang dikunjungi setelah singgah satu malam di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat.

Gejala makanan yang tidak cocok memang terasa selama kunjungan ini. Karenanya kalimat Saur tersebut selalu muncul dalam percakapan-percakapan di meja makan, khususnya pada siang dan malam hari.

Maksud kalimat Saur itu sederhana. Anda perlu sehat dalam perjalanan yang panjang ini, karena itu jangan memilih-milih makanan. Makan apa saja, demi kesehatan. Jangan berdasarkan selera, apalagi perasaan. Pakai otak saja!

Saudara Saur berhasil dalam imbauannya. Rekan yang mewakili harian Pelita Haji Azkarmin Zaini mengakuinya. Ia pun menggunakan air mendorong makanan si mulutnya. “Ini namanya makan pakai otak,” katanya suatu kali. Tetapi ketika pada suatu malam, rombongan makan di salah satu negara Afrika, ia mengatakan otaknya sudah melayang entah kemana, ia pun sudah tidak bisa menolong.

Kemungkinan akan menghadapi kesulitan makan ini sudah diantisipasi sejak dari Jakarta. Pak Sampurno, kepala rumah tangga kepresidenan dalam briefing di depan rombongan mengingatkan perlunya cadangan super-mie. Dan super-mie itulah yang menolong para wartawan dan anggota rombongan lainnya yang mengalami hal serupa. Mereka tinggal memesan air panas. “veri very hot plain (drinking) water, please,” lalu mengaduknya dan selamatlah perut-perut Melayu.

Hampir di semua negara itu terdapat nasi. Tetapi nasinya, seperti tidak nasi. Kadang-kadang kerasnya bukan main, kadang-kadang dicampur dengan bumbu-bumbu tertentu. Juga sering ada “nasi goreng”, tapi lembab, jelas rasanya bukan nasi goring.

Menyangkut makanan ini, Garuda harus mendapat pujian. Pelayanan makanan selama kunjungan ini, dapat dinilai amat bagus. Tidak ada pilihan makanan yang tidak disantap habis.
Garuda memang mempersiapkan diri dengan baik. Mereka menerbitkan buku menu khusus untuk presidential flight ini, lengkap dengan pilihan-pilihannya. Wartawan-wartawan yang biasanya tidak pernah mendapat perlakuan khusus seperti itu, merasa seolah-olah dimanjakan. Mereka pun menjadi termasuk very-very important persons.

Garuda juga menyiapkan sejumlah liquor, tetapi hanya satu dua wartawan yang memanfaatkannya di tengah penerbangan malam pada saat mengetik di atas laptop.
Tidak hanya dalam soal makan dan minum itu, Garuda pun wajar mendapat pujian dalam keseluruhan penampilannya dalam kunjungan yang panjang ini. Mereka menyiapkan tas untuk seluruh rombongan, isinya lengkap untuk suatu perjalanan panjang. Bahkan, untuk perjalanan panjang ini Garuda menyiapkan pesawat DC-10 cadangan, satu lagi di Abudhabi. Dan tidak tanggung-tanggung--menurut keterangan-- Garuda menyiapkan empat ton suku cadang dalam penerbangan ini. "Kini keperkasaan burung Garuda bukan sekadar khayalan belaka," meminjam kalimat iklan Garuda.

Persoalan makan memang jelas muncul, bukan saja karena negeri-negeri yang berlainan itu tetapi juga karena perbedaan jam sehingga setiap kali pindah negeri, penyesuaian harus dilakukan.

Untuk memudahkan pelayanan, di setiap negeri, kedubes sudah menyiapkan sistem buffet pada setiap hotel tempat menginap. Apa yang terjadi, makanan yang paling cocok untuk selera Indonesia akan lebih cepat habis.

Masyarakat Indonesia di Mexico dan Tanzania mengerti kesulitan makan itu. Di Mexico mereka menyiapkan sambal dan kerupuk, di Tanzania mereka mengundang satu kali makan siang seluruh rombongan, kecuali Presiden dan Ibu Soeharto. Sambal, kerupuk, pisang, tersedia, dan nasinya benar-benar nasi! "Kali ini tidak perlu pakai otak. Santap habis!" kata seorang rekan.

Satu-satunya makanan yang benar-benar aneh yang ditemui adalah ketika makan siang di suatu safari lodge di pedalaman Afrika di Zimbabwe. Tuan rumah penginapan para pemburu itu memang menyiapkan makanan-makanan "alami". Mulai dari ekor buayam daging badak, dan macam-macam yang lain. Banyak juga di antara 17 wartawan itu yang mencobanya, dan tidak apa-apa. Saat itu semuanya menganggap, "Makan pakai otak itu perlu."

Pengiriman Berita
Apakah pengiriman berita dapat berjalan lancar, itulah persoalan pokok para wartawan. Di setiap negeri, masalahnya berbeda-beda. Tetapi kendala yang umum dihadapi adalah kesulitan mendapat sambungan ke Indonesia, baik telepon maupun fax (Faksimili). Tidak jarang seorang wartawan harus menunggu empat sampai lima jam untuk mendapatkan sambungan itu. Dan celakanya, kalau sampai lewat deadline surat kabarnya atau majalahnya, berarti ia gagal total, harus menunggu penerbitan esok harinya.

Ada tiga macam jenis telekomunikasi yang harus dihadapi seluruh wartawan pada kunjungan ini. Bagi wartawan surat kabar atau majalah adalah Fax, telepon, atau telex, bagi RRI hubungan telepon yang harus direkam di Jakarta, dan bagi TVRI hubungan satelit untuk mengirimkan gambar setiap hari.

Yang selalu menimbulkan soal adalah pengiriman fax yang mirip fotokopi jarak jauh itu. Fax memang sudah menggantikan telex, karena kesalahan ketik tidak mungkin terjadi, atau ia mengirim apa adanya. Tetapi karena berbagai kendala, sering pula kabur, ketebalan atau beberapa baris tidak terbaca atau terputus di tengah jalan. Pada saat-saat kritis seperti itu, telex masih menolong.

Umumnya para wartawan yang mengikuti kunjungan Presiden Soeharto ini sudah siap-siap dengan kemungkinan situasi yang paling buruk sekalipun. Walaupun sudah membawa laptop (komputer yang berfungsi sebagai mesin tik, dapat digunakan dimana saja), mereka masih membawa mesin ketik biasa, dan peralatan yang sudah tradisional itu memang masih berguna dan menolong. Ternyata teknologi paling mutakhir sekalipun bikan jaminan untuk memperlancar pengiriman berita.

Rekan dari Suara Karya Saudara Agus membawa suatu peralatan yang kemampuannya lebih tinggi dari laptop (dapat langsung berhubungan dengan mesin fax di kantornya), tetapi ia malah menghadapi tagihan pulsa di hotel yang sampai-sampai di luar dugaan. Setiap sambungan telepon yang dilakukannya lewat alatnya itu sering terputus di tengah jalan. Biaya sambungan yang terputus seperti itu tetap dibebankan kepadanya. Ia pun akhirnya beralih ke pengiriman fax dengan menggunakan mesin ketik biasa. Atau mem-print hasil ketikannya dari laptopnya itu.

Pengiriman fax merupakan perjuangan yang amat menimbulkan stress. Saudara Saur menyebutkannya "menaikkan darting (darah tinggi)". Yang paling parah adalah bila fax di kantor sesuatu redaksi di Jakarta itu tidak standby. Ada yang kertasnya kosong, ada yang sedang rusak tetapi tidak diberitahukan kepadanya dan ada yang tidak disiagakan (tetap berfungsi sebagai telepon pada saat kantor sedang kosong).

Pengalaman paling menyedihkan dialami seorang wartawan ketika di Harare, ibu kota Zimbabwe. Malam itu (berarti pagi subuh di Indonesia) fax di hotel bintang lima tempat mereka menginap sedang rusak. Ia pun pergi ke hotel lain dengan menyewa taksi untuk pulang-pergi. Sampai empat jam operator di hotel itu mencoba mengirimkan fax si wartawan gagal mendapat sambungan ke Jakarta. Sang wartawan pun memutuskan untuk menghubungi kantornya lewat telepon, kenapa faxnya tidak masuk-masuk. Ia meminta operator hotel itu agar dapat melakukan hubungan telepon collect call. (Collect call adalah hubungan telepon yang biayanya dibayar oleh si penerima). Apa jawab sang operator, "negeri Anda tidak terdaftar dapat melayani collect call!". (Ini suatu penghinaan Pak Soesilo Soedarman. Padahal dalam kunjungan ini kemajuan teknologi komunikasi kita termasuk yang dipuji-puji.)
Lalu si wartawan itu pun membayar cash sambungan telepon yang dilakukannya ke kantor redaksinya. Ternyata memang fax kantornya itu sedang rusak.

Setelah mengantisipasi bahwa negara-negara yang dikunjungi adalah negara-negara berkembang, yang di antaranya ada yang lebih "terbelakang" dari Indonesia, seorang wartawan membawa perlengkapan transformator menghadapi voltase 110 atau 220 Volt. Ternyata ada gunanya, di Amerika Latin voltase listriknya 110, sedangkan di Afrika sudah 220 seperti di Jakarta. Tidak heran tas bawaan sang wartawan itu selalu berat.

Serba Ketat
Pengawalan yang serba ketat terasa khusus pada saat KTT Kelompok 15 di Caracas, Venezuela dan pada saat KTT VI OKI di Dakar, Senegal. Adalah wajar di kedua event internasional ini penjagaan itu ekstra ketat sebab kepala-kepala negara/ pemerintahan sedang berkumpul. Tetapi kalau karena penjagaan itu sesuatu negara nyaris dipermalukan, tunggu dulu.

Ini terjadi ketika KTT Kelompok 15 di Caracas itu menyelenggarakan konferensi pers oleh semua kepala negara yang hadir. Rupanya dari setiap negara sudah ditunjuk masing-masing seorang wartawan untuk mengajukan pertanyaan. Dari Indonesia ditunjuk Saudara Makiwawu, dari LKBN Antara. Tahu-tahu saudara Makiwawu dan beberapa wartawan lainnya tidak bisa masuk ke ruangan itu karena penjagaan yang serba ketat. Mereka hanya menyaksikan konferensi pers dari CCTV (close circuit television). Akhirnya ketika wartawan Indonesia dengan menyebut nama Makiwawu dipanggil, wartawan-wartawan Indonesia yang sudah berada di dalam ruangan itu menjadi bengong. Ketika dipanggil kedua kalinya, rekan Saur Hutabarat langsung berdiri mewakili wartawan Indonesia mengajukan pertanyaan yang lahir secara spontan dan ditujukan kepada Presiden Soeharto.

Penjagaan ketat dan pengaturan yang kurang "pas" dialami di KTT VI OKI. Ketika peswat Garuda DC-10 sudah mendarat dan taxiing di runway, pesawat itu terpaksa berhenti beberapa saat menunggu siapnya penyambutan. Memang, Presiden Soeharto hari itu merupakan kepala negara/ pemerintahan yang ke-14 tiba hari itu, tetapi dari segi keprotokolan hal seperti ini kuranglah baik, apalagi sebelumnya pesawat itu sudah beberapa kali berputar-putar di atas Dakar.

Penjagaan yang ketat juga membuat sidang KTT OKI itu tidak dapat langsung disaksikan oleh wartawan. Tetapi--kalau dikatakan kehadiran wartawan akan merusak ketertiban--juga tidak benar, sebab tanpa kehadiran langsung itu, KTT itu seolah-olah tidak tertib. Siapa saja bebas jalan-jalan, sementara kepala negara/ pemerintahan sedang menyampaikan pidatonya.

"Tidak Suka?"
Adalah suatu keistimewaan, Istana Presiden Mexico didominasi oleh wartawati-wartawati. Kenapa begitu? tanya seorang wartawan Indonesia. "Kami ingin membantu suami kami. Di sini suami isteri harus sama-sama bekerja agar dapat hidup," kata salah seorang wartawati itu.

Percakapan ini berlangsung di Istana Mexico ketika puluhan wartawan sama-sama menunggu selesainya pembicaraan empat mata antara Presiden Soeharto dengan Presiden Mexico.

Setelah pembicaraan basa basi selesai, seorang di antara mereka bertanya "Apa benar Presiden Anda tidak suka ngomong sama wartawan?"
"Tidak benar! Beliau amat mempercayai pembantu-pembantunya. Tapi pada kesempatan-kesempatan khusus, beliau bicara pada wartawan," jawab seorang wartawan di Indonesia.

"Apa Presiden Anda bisa bahasa Inggris?"

"Bisa. Cuma tidak pernah ada kesempatan formal. Beliau sangat menghargai bahasa nasional kami. Sama seperti Presiden Anda juga."

"Kenapa nama Presiden Anda hanya satu, apa surname-nya."
"Ini kebiasaan suku terbesar di negeri kami, suku Jawa. Presiden kami berasal dari suku Jawa. Suku-suku lainnya memakai dua nama, nama pertama dan nama keluarga."
"Kenapa begitu?"
"It is a long story. Visit Indonesia, you'll learn much more interesting." Wartawati-wartawati itu memang lincah-lincah. Mereka lebih mirip gadis model daripada kuli tinta. Jawaban bahwa mereka menjadi wartawan untuk menambah penghasilan, tidak hanya dari satu orang. Agaknya bagi mereka, menjadi wartawan bukanlah suatu profesi.

-Pembaruan/ Moxa Nadeak

Jakarta, 18 Desember 1991

0 comments:

Post a Comment