Thursday, June 28, 2012

Iklan Dapat Membuka Cakrawala Baru

Laporan dari Kongres Ke-15 Periklanan Se-Asia (I)

Wartawan “SH” Moxa Nadeak

Pengantar: Kongres ke-15 Periklanan se-Asia (The 15th Asian Advertising Congress) berlangsung di Bangkok, Muangthai dari tanggal 7 sampai dengan 11 Juli 1986 lalu. Wartawan “SH” yang turut menghadirinya menyiapkan dua tulisan berupa catatan dari pertemuan itu. Yang pertama dimuat hari ini dah yang kedua besok –Redaksi

JAKARTA—Dua penumpang lelaki duduk di pojok sebuah gerbong kereta api. Di tengah goncangan angkutan umum itu keduanya sama-sama membaca. Yang satu membaca koran, yang lain sebuah buku. Seekor lalat mengganggu mereka. Lelaki pembaca koran menggulung bacaannya dan menyerang si lalat. Ia memukul kaca jendela, lalat terbang. Ia kibaskan ke atas kepalanya, lepas lagi. Lalu memukul meja, lolos lagi. Tiba-tiba si lelaki si pembaca buku, tanpa gerakan berlebihan, menutup bukunya, lalu membukanya. Di sana sudah terjepit sang lalat, dan dengan dua jarinya, bangkai lalat itu dibuangnya.

Iklan televise ini berakhir di situ, dan semua orang bertepuk tangan, lalu sebuah kalimat penduk muncul (Get wise, read books). Kalau mau bijaksana, bacalah buku, begitu kira-kira maksudnya.

Inilah salah satu contoh iklan, dikategorikan sebagai “public service”, dipertunjukkan dalam Kongres ke-15 Periklanan se-Asia yang berlangsung di Bangkok, Muangthai pekan lalu. Iklan memang bukan hanya memperkenalkan suatu produksi atau perang antar produksi, atau memamerkan kelebihan sesuatu produksi. Iklan dapat membuka cakrawala baru, secara bertahap mendorong pemirsa ke suatu perilaku tertentu, demi kepentingan kemajuan, yang sehat, produktif dengan menggugah kesadaran masyarakat.

Singapura memenangkan semacam award untuk usaha seperti itu. Mereka menggugah kesadaran masyarakat negara pulau itu menghargai kaum cacat, dan juga bagaimana mahalnya air bersih. ‘Jangan tutup mata Anda melihat orang buta’ demikian kalimat dalam ‘iklan’ tentang kaum cacat itu, dan bunyi tetes-tetes aor yang di-amply sedemikian rupa menggambarkan betapa mahalnya air bersih.

Filipina, Muangthai, Malaysia, India juga mempertunjukkan kebolehan mereka. Dan yang membuat kita kaget, adalah versi baru ‘iklan propaganda’ daro negerinya Corazon Aquino. Antonio De Joya, anggota pendiri dari federasi periklanan ini memamerkan dua bentuk visualisasi disertai lagu/ nyanyian yang menggugah bagaimana pentingnya persatudan dan kesatuan setelah Marcos terguling. Di sana diselipkan berbagai rapat raksasa bagaimana janda bekas pemimpin oposisi Benigno Aquino dengan polosnya berada di tengah rakyat Filipina. Juga bagaimana eratnya kerjasama antara rakyat dan kaum militer pada bulan Pebruari lalu itu sesudah Pemilu sebelum Marcos terpaksa meninggalkan negeri itu. Iklan ini begitu menggugah. Lagu yang mengiringinya mirip senandung perjuangan penyanyi lagu rakyat Amerika, Joan Baez yang berdarah Mexico itu.

Di samping menggugah pentingnya persatuan dan kesatuan, ‘iklan propaganda’ ini juga mengatakan bahwa penderitaan ‘dahulu’ jangan sampai terulang lagi, disertai harapan dan kemerdekaan seterusnya.

Seorang wartawan Indonesia menyampaikan pujiannya pada Toni (panggilan akrab Antonio De Joya) pada sarapan pagi hari berikutnya. “Itulah usaha kami memanfaatkan ‘commercial’ menggambarkan pengalaman demokrasi kami, demi untuk kebebasan,” katanya.

Apa yang dipertunjukkan Toni ini adalah pengembangan komunikasi dari suatu kejadian yang dramatis. Suatu ‘revolusi tiga hari’ yang dimenangkan oleh seorang janda dan memberikan harapan kepada rakyatnya. Ini bukan iklan, tapi suatu komunikasi pembangunan yang diciptakan oleh orang-orang iklan Filipina, kata Toni. Mereka berbicara tentang penderitaan yang sudah berjalan lama, tentang aspirasi mereka menuju hidup baru, itulah fenomena yang unik dan gambling dari negara tetangga Indonesia itu, “the people’s power”.

Iklan Pembangunan Toni sendiri pula yang mengungkapkan bahwa iklan pembangunan sudah saatnya dikembangkan. Apa itu ‘development advertising’?

“In the simplest definition of terms, development advertising is advertising for development”, kata Toni. Iklan seperti ini mengusahakan perubahan sikap, pengembangan nilai-nilai positif, menggerakkan kemauan politik (political will), menggerakkan kewiraswastaan menuju kesejahteraan bangsa.

Ia sadar usaha seperti ini bukanlah usaha-usaha kaum swasta, sebab biro-biro iklan tentu mengutamakan keuntungan, namun kalaupun mereka mau mengerjakannya dan rugi untuk itu, maka pekerjaan ini tidak akan berhasil tanpa kepeloporan pemerintah masing-masing. Bagi biro-biro iklan, itu hanyalah ‘moral obligation’, sebab tanpa kemajuan pembangunan tidak akan ada ‘pasar’ dan bila pasar tidak ada, dimana biro-biro iklan akan mendapat keuntungan.

Bidang Keluarga Berencana merupakan contoh yang digarap secara luas di Muangthai dan memberi ilham bagi Filipina. Iklan kondom dipertunjukkan secara halus. Muangthai mengadakan perlombaan meniup balon dari kondom. Filipina menirunya dengan membuat hiasan-hiasan penuh dari balon-balon kondom itu. Hal serupa dengan penampilan lain dilakukan di India dan Bangladesh. Indonesia tidak menunjukkan sesuatu contoh, sebab visualisasi seperti itu sudah tidak pernah ada lagi sejak iklan di televise ditiadakan mulai tahun 1981 (April) lalu.

Negara-negara berkembang memerlukan iklan-iklan seperti ini. Tapi harus diingat, perlu penggarapan yang hati-hati sebab sasarannya akan lebih banyak penduduk pedesaan. Di antara penduduk ini terdapat perbedaan tingkat pendidikan, bahkan banyak yang masih buta huruf. Usaha memperkenalkan suatu alat pertanian tidak akan berhasil bila tidak disertai dengan demonstrasi di hadapan mereka. Petani akan selalu ragu-ragu akan sesuatu alat baru.

Iklan bagi penduduk desa ini harus menggambarkan keadaan yang akan diubah, dengan menampilkan suasananya, kebiasaan perilaku dan selanjutnya isi pesannya, mungkin dengan kalimat-kalimat humor diselingi lagu atau musik yang dipersiapkan secara menarik. Ini tidak hanya dapat dilakukan lewat televise tapi juga lewat radio dan media cetak.

Sasaran pedesaan masih akan tetap menjadi actual untuk decade-dekade yang akan datang, walaupun dunia ini telah diubah menjadi ‘kampung dunia’ (the global village – Marshal McLuhan), tapi Asia (juga Amerika Latin dan Afrika) masih tetap benar-benar kampong dengan tingkat kesejahteraan yang masih harus dinaikkan. Kemiskinan, kekurangan gizi, buta huruf, perumahan kumuh masih terdapat secara luas di benua-benua itu.

Adalah mulia bila biro-biro iklan melihat pedesaan ini sebagai “sasaran” mereka, tidak semata-mata akan kemungkinannya menjadi “pasar” di kemudian hari, tetapi sebagai ‘moral obligation’ (kewajiban moral) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Tapi dalam hal ini, pemerintah perlu memberi perhatian terhadap biro-biro iklan ini, menganggap mereka sebagai partner dalam memotivasi masyarakat dengan memberi kemudahan-kemudahan. Apa yang dikemukakan Deputi Perdana Menteri Muangthai Bhickai Rattakul ketika membuka kongres ini patut mendapat perhatian. Ia berkata, Muangthai dengan senang hati memperhatikan industri periklanan dalam peranannya yang besar menciptakan pasar bagi hasil-hasil produksi yang mempunyai nilai tambah. “Kami juga melihat bahwa periklanan dalam dirinya sendiri adalah industri pelayanan dan itu mendorong industri-industri pelayanan lainnya di sekitarnya, dan itu disebut sebagai lapangan komunikasi.”

Deputi PM ini mengakui, ongkos usaha-usaha ini pertama-tama ditanggung oleh biro-biro iklan yang sadar bahwa komunikasi yang baik akan meningkatkan dan meluaskan pasaran bagi produk-produk yang mereka iklankan.

Public Service
Iklan memang tidak seharusnya dianggap sebagai usaha yang perlu dijauhi. Dan iklan ‘public service’ bukanlah iklan yang mudah dibuat. Tantangan pertama menyangkut sasarannya yang terlalu umum. Suatu barang produksi sudah jelas siapa sasarannya. Kosmetika tentu untuk wanita, tapi suatu iklan agar jangan membuang sampah di sembarang tempat amat luas sasarannya. Ia harus disusun secara istimewa, tidak hanya sekadar imbauan ‘jangan membuang sampah’. Ia harus menarik, menggugah perasaan dan barangkali dengan sedikit mengejutkan.

Contoh-contoh dalam kongres ini memang cukup menggugah. Untuk iklan jangan membuang sampah di sembarang tempat, divisualisasikan dengan wajah cantik seorang gadis yang tiba-tiba berubah menjadi wajah babi karena seenaknya membuang bekas kaleng minumannya setelah mengetahui ada lelaki yang naksir kepadanya. (Litter, looks like pig).

Imbauan agar memakai sabuk pengaman (safety belt) digambarkan dengan dua robot yang mengalami tabrakan dan bagian-bagian tubuhnya bercerai berai. Lalu keduanya saling menyalahkan, dan kalimat yang diucapkan menyertai iklan ini adalah “robor pun memerlukan sabuk pengaman”.

Menyangkut pelestarian lingkungan hidup khususnya pembunuhan terhadap satwa-satwa yang kulitnya diambil untuk mantel-mantel bulu, divisualisasikan dalam ‘fashion show’ dimana gadis-gadis model memakai mantel-mantel mahal itu mengalir darah, membasahi lantai peragaan, membasahi wajah-wajah pengunjung. Untuk sebuah mantel, 40 anjing laut terbunuh, kata iklan itu.

Agaknya patut dicontoh adalah usaha di Hong Kong dalam memberantas korupsi. Di sana kampanye anti korupsi dilakukan oleh lembaga bernama “the Independent Commission Against Corruption (ICAC)”. Kampanye ini mempunyai dua sasaran. Pertama untuk mereka yang mungkin akan melakukan korupsi, bahwa ia bisa dipenjarakan. Sasaran kedua adalah masyarakat umum, yang ogah-ogahan terhadap adanya kelakuan-kelakuan seperti itu. Kepada mereka diigatkan korupsi mengganggu setiap orang termasuk mereka sendiri.

Dengan iklan “Stop Corruption” ini, 82 persen penduduk Hong Kong dapat mengingat nomor telepon hotline dengan ICAC, nomor tiga setelah nomor-nomor telepon keadaan darurat dan nomor polisi. Nomor telepon yang mudah diingat ini mendorong warga negeri itu segera dapat memberikan informasi tentang korupsi kepada ‘komisi’ itu sehingga memungkinkan semua orang dapat berpartisipasi.

Di Australia, larangan mengemudikan kendaraan dalam keadaan mabuk cukup berhasil dengan slogan “under 05 or Under Arrest”. Bila pernafasan seorang pengemudi mengandung alcohol melebihi ukuran 0,05 maka ia akan ditahan dan didenda serta surat izin mengemudinya dicabut.

Iklan-iklan public service ini mempunyai kelebihan dari iklan biasa. Ia selalu mempunyai segi emosional, tapi belum tentu cukup untuk mengubah perilaku. Ia harus disertai dengan apa yang menjadi masalah, apa kerugian yang terjadi sehingga harus tidak dilakukan. Sasarannya harus dijelaskan hingga menjadi relevan kepada setiap orang, kata Mara Fizdale, executive creative director dari Leo Burnett, Chicago, AS dalam presentasinya berjudul “Public Service Advertising Two Perspective”.

Bagaimana Indonesia?
Contoh-contoh yang dapat kita lihat selama kongres ini menjadi “aneh” atau kembali menjadi “barang baru” setelah selama lima tahun lebih tidak ada lagi iklan atau commercial di televise kita yang satu-satunya itu. Dan menyangkut iklan-iklan di media cetak, kongres sama sekali tidak mempersoalkannya lagi, dianggap sudah berjalan dengan sendirinya. Hal ini dibenarkan Indra Abidin, managing director dari PT Fortune Indonesia, setelah sehari sebelumnya menyampaikan presentasinya di pertemuan internasional itu.

Indra sendiri mengakui bahwa pengalaman tahun 1981 perlu menjadi pelajaran bagi semua pihak, pemerintah, masyarakat, dan biro-biro iklan. Ia menyayangkan bahwa keputusan untuk meniadakan iklan di televise itu tidak mengundang atau mendengar lebih dulu pendapat ‘dunia iklan’. Untuk masa mendatang bila kemungkinan untuk menghidupkan kembali iklan di televise itu ada, maka perlu dibentuk suatu badan pengawas yang berdiri di antara pemerintah dan dunia iklan itu. Bentuk badan itu belum dirincinya, tapi agaknya dapat dijabarkan dari pekerjaan suatu lembaga konsumen yang berdiri sendiri. Atau seperti yang sering ditemukan di negeri Barat, lembaga yang mengeluarkan penerbitan khusus yang membanding-bandingkan berbagai jenis produksi dari satu barang, dengan daftar ‘kekuatan’ dan ‘kelemahan’-nya.

Apa yang dialami dunia iklan di Indonesia memang sulit. Media cetak mendominasi iklan-iklan, di samping radio, baik RRI maupun non-RRI. Kesempatan lain adalah lewat papan-papan reklame, bus-bus kota, poster-poster dan bentuk-bentuk lain seperti “door to door salesman” yang sasarannya tidak sekaligus ‘luas’.

Dunia iklan sadar, keputusan pemerintah tahun 1981 itu adalah demi kepentingan yang lebih besar. Bahwa tidak dapat dipungkiri masyarakat pedesaan kita telah ‘diserang’ dengan barang-barang yang sebenarnya tidak perlu bagi mereka. Mereka didorong menjadi konsumen dan dengan visualisasi yang begitu menarik, mereka mudah terkecoh atau terpengaruh.

Tidak hanya mereka, masyarakat perkotaan pun setiap hari didorong untuk mengkonsumsi barang-barang dan peralatan-peralatan mewah. Indra menyebutkan bahwa hal-hal seperti ini memang dapat menimbulkan perasaan frustrasi, kecemburuan, dan keresahan social.

Apa yang dapat kita lakukan di Indonesia, agaknya banyak tergantung kepada kesadaran Pemerintah untuk melihat keampuhan dunia iklan atau ‘commercial’ ini dalam rangka pembangunan nasional. Kita sekarang cukup belajar dari pelajaran lima tahun lalu itu, bahwa apa yang terlalu bebas di saat itu tidak harus diulangi lagi bahkan jenis-jenis produksi yang dapat diiklankan pun agaknya harus diseleksi.

Tapi jelas, dunia iklan khususnya dunia ‘public service advertising’ akan sangat membantu pemerintah dalam berbagai imbauannya kepada seluruh bangsa asal disusun secara rapi dengan lirik dan lagu serta visualisasi yang benar-benar menarik. “Stand Up, Stand Up, Stand Up for Singapore” dan “Together We Share…” adalah dua contoh yang menarik dari negeri tetangga kita menggambarkan imbauan untuk menghormati bendera, lagu kebangsaan dan nasionalisme serta untuk memperhatikan nasib kaum cacad. Memang iklan-iklan seperti ini dapat membuka cakrawala baru.***

16 Juli 1986

0 comments:

Post a Comment