Wednesday, June 20, 2012

Fundamentalisme, Dari Sudut Mana?

YOGYAKARTA—Masalah fundamentalisme mewarnai pembicaraan pada Seminar tentang Agama dan Perkembangan Kontemporer sepanjang hari Kamis (24/9) di Yogyakarta, ditinjau dari berbagai sudut pandang. Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha. Seminar ini memasuki hari kedua setelah dibuka Rabu pagi, diselenggarakan oleh Departemen Agama, dengan pelaksana Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Pada hari kedua ini berbicara Pendeta Djaka Soetapa ThD dari Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, Drs Teja SM Rashid dari Sekolah Tinggi Agama Budha, Dr. Ibrahim Abu Bakar dari Universitas Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, IB Suandha Wesmana dari Institut Hindu Dharma, Denpasar, sedang Pinit Ratanakul dari Universitas Mahidol, Bangkok tidak hadir namun makalahnya disarikan. Kemudian Dr. Anton Baker dari Sekolah Tinggi Teologi dan Filsafat Yogyakarta, Dr. Th Sumartana dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, dan Drs. M Dawam Rahardjo, Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Jakarta.

Kekurangberhasilan berbahasa Inggris pada beberapa pembicara Indonesia membuat seminar internasional ini menggunakan dua bahasa, sehingga moderator setiap sesi harus menyimpulkan pendapat pembicara itu ke bahasa Inggris untuk sejumlah peserta dari luar negeri. Namun sebagian dari mereka juga berusaha menjawab pertanyaan dalam bahasa Inggris.

Djaka Soetapa mengatakan munculnya fundamentalisme bertujuan membangun benteng yang kokoh dalam perjuangan iman Kristen dalam gereja yang dianggap sudah menjadi “banci”. Kaum fundamentalisme ini mempertentangkan pernyataan Allah dengan akal manusia. Kitab Suci dengan ilmu penyetahuan, mengajarkan inspirasi harafiah bahwa Kitab Suci irerrant (tidak dapat salah), dan mencap orang yang tidak sependapat sebagai “orang Kristen yang tidak benar”.

Namun Djaka mengatakan, gerakan fundamentalisme itu mempunyai “daya tarik” yang mempesona, seperti, ia merupakan gerakan yang militant, muncul sebagai reaksi terhadap keadaan gereja yang tidak menunjukkan kekuatan imannya menghadapi realitas dunia. Juga mempesona karena rumusan-rumusannya yang serba absolute, dan melalui penampilannya yang absolute itu, gerakan ini menuntuk keterikatan/ commitment dari para pengikutnya, berupa kesediaan mengorbankan segala sesuatu.

Bahaya-bahaya yang dapat muncul dari gerakan fundamentalitas itu adalah, pertama-tama penampilannya dalam masyarakat majemuk di Indonesia, apalagi dalam kemajemukan agama-agama.

Djaka pun mengatakan, bentuk fundamentalisme tidak dapat memenuhi harapan manusia dalam hubungan yang lebih serasi antara ilmu dan iman/ agama, bahkan lebih meningkatkan polarisasi. Seharusnya, lanjut Djaka, manusia lebih mengupayakan mencari sintesis serta ekuilibrium baru yang seimbang bagi umat manusia, bukan menciptakan konflik-konflik yang mengganggu hubungan antarmanusia. Metode-metode yang dipakai gerakan fundamentalis yang eksklusif, indoktrinatif, fanatis oada hakekatnya tidak memanusiakan manusia, sebab tidak membantu menciotakan keserasian hubungan antarmanusia dalam masyarakat dan dunia yang semakin pluralistis. Juga Djaka mengatakan, sikap gerakan fundamentalis yang “anti” atau paling tidak “curiga” terhadap teologi dan kegiatan berteologi, akan menghambat perkembangan teologi dalam upaya untuk menyejahterakan umat manusia.

Budha
Drs. Teja SM Rashid mengatakan, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan umat Budha mengetahui adanya perbedaan sarana dan prasarana, upacara dan tradisi agama Budha. Perbedaan itu tidak saja dijumpai pada tempat yang jauh, tetapi juga dalam suatu daerah dan negara. Hal itu menimbulkan kecenderungan untuk mencari ajaran yang fundamental tetapi tidak akan menjurus kepada fundamentalisme, baik dalam pengertian Kristen maupun yang dihubungkan dengan fanatisme, eksklusivisme, tidak toleran atau bahkan radikalisme dan militanisme. Agama Budha memandang pentingnya verifikasi melalui pengalaman, kata Teja.

Fundamentalisme dalam ajaran agama Budha adalah kembali kepada ajaran fundamen yang dapat melihat timbul dan lenyapnya kebencian dan keserakahan batin, atau dapat melihat timbul dan berkembangnya cinta kasih dan kederawanan dalam hati yang dapat membawa kehidupan yang lebih baik dalam hidup yang akan datang, kata Rashid.

Dr. Ibrahim Abu Bakar yang membawakan makalah “Fundamentalisme dalam Agama-agama: Kristianiti dan Islam” menyimpulkan adanya persamaan dalam fundamentalisme dalam kedua agama itu. Ke-4 persamaan itu adalah, sama-sama memberikan penekanan kepada interpretasi literal terhadap kitab-kitab suci. Kedua, fundamentalisme dapat dihubungkan dengan fanatisme, eksklusivisme, intoleransi, radikalisme, dan militanisme. Ketiga, fundamentalisme menekankan pembersihan agama dan isme-isme modern seperti modernisme, liberalisme, dan humanisme. Keempat, fundamentalis mengklaim diri mereka sebagai penerus dan penjaga agama dan tafsiran-tafsirannya yang benar dan betul, sementara yang bukan fundamentalis dianggap penerus dan penjaga agama yang sesat dan menyeleweng.

Menyinggung negerinya Malaysia, ia mengatakan, Partai Islam se-Malaysia (PAS) juga mendukung fundamentalisme terutama setelah tidak dipimpin Muhammad Asri. Pada tahun 1980-an golongan fundamentalis dalam partai itu berhasil menentang kepemimpinannya dan ia (Muhammad Asri) pun membentuk partai politik baru. Pada tahun 1990 PAS memenangkan pemilu Dewan Undangan Negeri Kelantan dan memerintah negara bagian itu. PAS mengisyaratkan akan melaksanakan sepenuhnya hokum Islam termasuk hukum hudud di Negeri Kelantan.

Hindu
Pembahasan seminar pada sesi Kamis siang hingga petang tidak secara langsung menyinggung gerakan fundamentalisme, tetapi lebih mengarah ke masalah social-politik. Prof. IB Suandha Weswana SH yang menyampaikan makalah “Agama Hindu dan Masalah-masalah Sosial Politik” menguraikan potensi agama Hindu dan bagaimana agama itu memanfaatkan potensi tersebut mengantisipasi masalah-masalah social politik yang sedang maupun yang akan datang. Ia pun menguraikan beberapa ajaran agama itu yang mempunyai relevansi dengan masalah social politik.

Sebagai pengganti Dr. Piniti Ratanakul yang berhalangan hadir, Dr. Imtiyaz Yusuf, seorang asal Tanzania yang juga peserta dari Bangkok, menyimpulkan dan menjelaskan makalah Piniti yang berjudul “Religion and Poverty: The Response of Thai Buddhisme to the Cry for Justice” (Agama dan Kemiskinan: Tanggapan Budhisme Muangthai terhadap Dambaan akan Keadilan). Imtitaz yang juga dosen itu menjelaskan peranan biksu (monk) Buddha yang dapat dibagi tiga, yaitu di hutan (forest monk), di kota (town monk), dan biksu pembangunan (development monk).

Biksu-biksu itu dikatakan di bagi-bagi menurut tujuannya. Yang di hutan meneruskan tradisi bermeditasi, yang di kota meneruskan keterampilan tradisional mempelajari tiga tingkat ajaran Budha. Sedang uang membangun dimulai sejak 30 tahun lalu di desa-desa dan wilayah-wilayah miskin.

Akibat kemiskinan masyarakat dan dambaan akan keadilan bagi penduduk miskin di desa-desa, sejumlah biksu menyiapkan diri mereka menjadi pemimpin bagi kegiatan pembangunan. Biksu-biksi pada mulanya melakukan hal itu di utara Muangthai. Lima belas tahun lalu, setiap warga desa Ta Mafai terlibat tindak kekerasan (sebagai akibat percekcokan dan konflik), perjudian dan alcohol. Di samping memimpin warga desa memerangi perjudian dan alkoholisme, biksu-biksu itu memerangi kemiskinan dan meningkatkan keadaan lingkungan. Ketidaksuburan tanah, bencana kekeringan, serta sebaliknya banjir yang datang tiba-tiba, menyebabkan penggundulan hutan, yang juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kayu. Biksu-biksu itu pun membentuk koperasi-koperasi.

Yang menarik dalam kaitan dengan kemiskinan itu adalah motivasi banyak wanita muda Muangthai yang menjadi pelacur. Piniti dalam makalahnya, dan yang juga dibenarkan Imtiyaz, bukan hanya alas an kemiskinan yang membuat mereka menjadi pelacur di Bangkok, Hat Yai, Pettaya, bahkan di luar negeri seperti Jepang, Hongkong, dan Taiwan, tetapi juga nilai budaya sebagai pernyataan syukur atau terima kasih (gratitude) terhadap orang tua. Laki-laki menunjukkan sikap terima kasih mereka terhadap orang tua dengan bersedia menjadi biksu, tetapi wanita tidak diperbolehkan mengikuti tradisi itu. Biasanya, orang-orang tua di kampong-kampung tertentu itu akan mengharapkan anak-anak perempuan mereka bekerja keras bagi keluarga sebagai cara menunjukkan terima kasih mereka. Prostitusi menjadi cara baru bagi wanita untuk membawa uang bagi keluarganya, dan dengan demikian memenuhi kewajibannya kepada orang tuanya.

Sosial Politik
Dr. Anton Baker dalam makalahnya, “Agama dan Tatanan Sosial Politik dalam Cahaya Stratifikasi Nilai” menjelaskan stratifikasi nilai dalam kenyataan manusiawi dengan empat strata dasar yaitu hubungan ekonomi, social-politik, humanistic, dan hubungan religius.

Dr. Th. Sumartana dalam makalahnya “Beberapa masalah social politik di kalangan jemataan Protestan di Indonesia” menjelaskan keunikan Protestanisme itu ditinjau dari sejarah dan penyebarannya. Kelompok agama ini tiba bersama-sama dengan kedatangan bangsa Belanda. Bahkan, tak ada agama yang lebih diatur dan diawasi penyebarannya daripada Protestanisme pada saat itu.

Selanjutnya Sumartana mengatakan, baru pada awal abad 20 terbuka kemungkinan penyebaran aliran ini secara lebih longgar. Dalam keadaan semacam itu, seluruh wilayah Indonesia terdapat kantong-kantong Protestanisme yang tersebar secara tak merata. Kebanyakan warga Kristen itu direkrut dari kalangan menengah ke bawah, dari kalangan tradisional/ adapt, yang pada umumnya kurang berpendidikan. “Bahkan sampai sekarang masih bisa kita lihat bahwa umumnya Protestanisme merupakan kantong-kantong kemiskinan, khususnya di wilayah Indonesia bagian timur,” kata Sumartana.

Ia mengatakan tidak sependapat bahwa suku dan adapt adalah sesuatu yang negative pada dirinya, namun sering pandangan apriori dan prasangka-prasangka kesukuan menghalangi jemaat untuk melakukan interaksi terbuka dan tak bisa menghargai pluralisme masyarakat. Sebagai contoh, Sumartana mengemukakan pengalaman hubungan yang kurang terbuka antara kelompok Protestan dan Katolik di Nusa Tenggara Timur, dan juga kelompok Protestan di Tapanuli Utara dengan tetangga-tetangganya kelompok Islam di sekitar wilayah itu.

Sumartana pun mengutip sebuah notulen rapat Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) pada awal tahun 1960-an, saat mana E. Katoppo (mantan Menteri Pendidikan di Negara Indonesia Timur) mensinyalir perlunya studi tentang keterlibatan banyyak tokoh Protestan dalam berbagai “pemberontakan daerah,” seperti RMS, PRRI dan Permesta. Terbetik dalam sinyalemen tersebut ajakan untuk memikirkan keprihatinan Kristen untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan daerah yang terbelakang. Dihubungkan dengan keadaan wilayah Indonesia Timur dewasa ini yang merupakan wilayah termiskin dan terbelakang, pernyataan E Katoppo tersebut agaknya menemukan relevansinya kembali, katanya.

Peran Historis Islam
Drs. Dawam Rahardjo dalam makalahnya “Agama, Masyarakat dan Negara” lebih banyak menjelaskan peran histories agama Islam di Indonesia khususnya pada masa sekitar permulaan kemerdekaan. Ia mengatakan, gagasan Bung Karno pada 1 Juni 1945, sebenarnya adalah sintesa dari berbagai ideology Barat, terutama nasionalisme, demokrasi, sosialisme, internasionalisme, dan hanya ditambah dengan ide Ketuhanan yang berasal dari gerakan keagamaan.

Dua hal menarik untuk dicatat, kata Dawam, pertama para perumus lima sila dalam Piagam Jakarta dan UUD 45, mengganti istilah teknis dalam ideology Barat dengan istilah-istilah Indonesia, agar mengandung makna yang berakar pada nilai-nilai agama dan tradisi. Ini adalah gejala mencari identitas dalam proses menyerap ide-ide modernitas.

Gejala lain yang menarik, Gerakan Islam tidak mengajukan konsep tandingan yang kemudian dikenal dengan konsep “Negara Islam” itu. Mereka hanya ingin, agar sila Ketuhanan diberi keterangan “dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, dan ketika permintaan ini ditolak, demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, mereka hanya meninginkan predikat “Yang Maha Esa” di belakang Ketuhanan, dan agar sila ini ditempatkan pada urutan teratas, sebagai nilai yang paling dasar dan mendasari sila-sila yang lain (M-1)


Suara Pembaruan
Jakarta, 25 September 1992

0 comments:

Post a Comment