Thursday, June 28, 2012

Sentimen Antarumat Pasti Selalu Ada

TUGU—Sentimen antarumat pasti selalu ada, demikian Dr. Komaruddin Hidayat dalam ceramahnya di depan Seminar XII Agama-agama yang diselenggarakan oleh Badan Peneliti dan Pengembangan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (Balitbang PGI) di Tugu, Bogor, Jawa Barat, Kamis pagi (17/9).

Komaruddin mengatakan, sentiment itu muncul sebagai hasil pengalaman, kekurangan pengenalan dan juga karena unsure-unsur misi agama-agama itu. Untuk itu diperlukan dialog atau diskusi, “namun kalau diskusi itu harus mencapai menang atau kalah, nggak usah berdiskusi, sabar saja,” tambah Komaruddin yang memperoleh gelar doktornya dari Middle East University, Ankara, Turki.

“Saya juga menghadapi umat Islam kadang-kadang repot,” kata mantan siswa Pondok Pesantren Pabelan, Magelang itu. Pluralisme diakui oleh Islam, seperti pengakuan Islam bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi yang terakhir, katanya dalam tanya jawab setelah menyampaikan makalah berjudul “Perkembangan Pemikiran Islam tentang Demokrasi”. “Kalau ada mubaligh yang mengkafir-kafirkan, itu bertentangan dengan etos Islam”, ia memberi contoh.

Keberatan atau kendala utama umat Islam terhadap umat Kristen, menurut Komaruddin, adalah perasaan “kecemburuan” dalam beberapa hal. Ia memberikan satu contoh, acara “Cerdas Tangkas” dalam TVRI. Wakil-wakil dari sekolah-sekolah Islam yang namanya selalu berakhiran “ah”, selalu kalah dari wakil-wakil sekolah Kristen, katanya.

Kendala lain menyangkut unsur misi. Sense of group biasanya muncul dalam hal seperti ini. Ia memberi contog, bila ada seorang pemuda Islam berpacaran dengan gadis Kristen, kelompok pemuda Islam itu akan mengejeknya akan berzinah dengan kafir. Komaruddin pun memberikan nasehat, kalau sudah aktif ke gereja tidak usah masuk Islam, sebab akan kecewa nanti. “Tidak akan ada penerimaan yang sejuk dari pendeta dan pastor, kalau Anda masuk Islam. Sudah terlalu banyak ‘kambing’ yang perlu ‘digembalakan’,” katanya.

Berkaitan dengan misi atau dakwah itu, alumnus IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta itu mengatakan, dalam Islam setiap umat adalah pendakwah, “walaupun hanya satu ayat”. Akibat negatifnya adalah, bila “ilmu”-nya tidak seberapa, latihannya hanya seminggu, maka kacaulah informasinya, tambahnya.

Agama harus hidup dalam masyarakat yang pluralistic. “Kalau ada umat Islam yang tidak mau memberikan salam kepada rekannya umat Kristen, umpamanya pada Hari Natal, saya heran. Kalau dia itu kelak berkuasa bisa-bisa semua orang Kristen akan disembelih,” katanya.

Demokrasi
Komaruddin mengatakan, Al Quran tidak memiliki preferensi secara eksplisit mengenai bentuk pemerintahan, tetapi penekanan, pemerintahan yang Islami adalah yang konsisten menegakkan keadilan, musyawarah, menghindarkan eksploitasi, dan penindasan terhadap rakyat, memajukan dan memakmurkan rakyat dan seterusnya yang secara otentik memang ditekankan oleh Al-Quran dan dipertegas oleh Rasulullah Mugammad.

“Untuk pendekatan tujuan dimaksud, para pemikir muslim kontemporer cenderung sepakat bahwa system pemerintahan yang demokratis, paling tepat dipilih sebagai alternative terbaik,” kata Komaruddin, kelahiran Muntilan, Jawa Tengah, tahun 1954 itu.

Pada dataran analisa etis teoritis terdapat petunjuk yang kuat bahwa Al-Quran sangat mendukung terwujudnya pemerintahan yang demokratis. Dukungan Al-Quran itu terletak pada system nilai yang mendasari bangunan formal, demokrasi.

Beberapa premis Al-Quran yang penting sehubungan dengan persoalan demokrasi ialah, Al-Quran berpandangan positif akan hakikat dan martabat manusia di muka bumi. Kedua, Al-Quran sangat menghargai individualitas dan hak-hal pribadi. Ketiga, Al-Quran menyatakan, manusia merupakan mandataris Tuhan di muka bumi yang berkewajiban melaksanakan blueprint-Nya untuk memakmurkan hidup mereka. Keempat, Al-Quran memerintahkan berlakunya mekanisme musyawarah untuk tujuan yang mulia, yang antara lain ditandai dengan kualitas adil, jujur, menolong mereka yang tertindas, tidak mengingkari keputusan bersama, menghindari akumulasi kekuasaan di tangan terbatas, dan seterusnya.

Pluralisme
Pada hari yang sama, Kamis siang, seminar ini mendengar dua pembicara yang membahas pluralisme. Kedua pembicara itu masing-masing adalah Drs Darmanto Yatman dan Dr. Phil J Garang, yang sama-sama membahas topic “Pluralisme dalam Kebudayaan Nasional”.

Darmanto mengatakan pluralisme dalam kebudayaan merupakan kesadaran adanya kebudayaan lain yan sama harkat dan perbedaannya. Ia pun melihat, terdapat dataran-dataran kesadaran yang lebih tinggi dalam mana masing-masing kebudayaan dapat berdialog (forum).

Menurut sarjana psikologi dari UGM itu, pluralisme kebudayaan muncul dari kebutuhan untuk memuliakan manusia, dan interaksi antar-kebudayaan tidak dalam kekosongan, tetapi dalam struktr penuh kepentingan.

Dosen FISIP Undip Semarang itu pun mengajak untuk membentuk church culture yang bukan didasarkan pada sindrom minoritas, dengan melihat sumber daya manusia yang tersedia, kepemimpinan, lingkungan, market, sebagai bentuk tanggung jawab budaya dari gereja.

Dr. Garang sementara itu mengatakan, dalam masyarakat majemuk Indonesia, kata “kepedulian” seharusnya menjadi bagian dari hati nurani setiap manusia Indonesia. Kepedulian setiap orang lebih diperlukan pada saat kita memasuki era globalisasi, kebudayaan global, dalam mana kebudayaan nasional, apalagi kebudayaan daerah menjadi mangsanya. Kebudayaan daerah (etnis) paling tidak mampu menyangganya, karena masih menunjukkan cirri-ciri tradisional yang agraris dan bahkan feudal dalam pola piker dan pola kerja. Dalam keadaan seperti itu, tidak memungkinkannya menjawab tantangan dan tuntutan abad Iptek.

Kemajemukan di Indonesia, menurut Garang yang memperoleh gelar doktornya dari Universitas Hoidelberg, Jerman, tidak saja diwarnai oleh keragaman suku, ras, agama dan kepercayaan, budaya dan golongan dalam arti kemajemukan horizontal, tetapi juga oleh tingkat social dan kemajemukan ekonomi tingkat pendidikan dan strata social lainnya, sebagai kemajemukan vertical.

Dampak dari persilangan kedua kemajemukan itu mengakibatkan keanekaragaman masyarakat Indonesia menjadi lebih kompleks dan sering mengacu kepada desintegrasi, konflik kepentingan, ketimpangan social ekonomi, jurang pemisah antara kaya dan miskin, munculnya dikotomi desa dan kota, “diktatur minoritas” (elite ekonomi) dan mayoritas masyarakat yang miskin, potensial munculnya dominasi berdasarkan budaya, agama dan kepercayaan tertentu (“diktatur mayoritas”), terkekangnya kebebasan dan demorasi serta tercerabutnya akar budaya, lenyapnya harga dan identitas diri, demokrasi, hak-hak asasi manusia, bahkan yang paling asasi sekalipun (misalnya kebebasan beragama), dapat menjadi lahan yang subur untuk “perbedaan dan silang pendapat”.

Kemajemukan seperti itu di lain pihak juga memberikan peluang untuk terbentuknya elite politik, pemerintahan yang otoriter dan sentralistik, menonjolkan keekaan (uniformitas) ketimbang kebhinekaan (pluralitas), merosotnya rasa kepedulian dan lain sebagainya, kata anggota Staf Akademi Leimena itu. (M-1)

Suara Pembaruan/ Moxa Nadeak
19 September 1992

0 comments:

Post a Comment