Tuesday, June 26, 2012

Rumusan Baru, Tugas Advokasi...

Laporan Dari Munas Partisipasi Dalam Pembangunan 1990 PGI

Pengantar:

Departemen Partisipasi dalam Pembangunan (Parpem) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyelenggarakan Musyarah Nasional ke-3 Parpem dari tanggal 8 s/d 11 Mei lalu di Hotel Dyana Pura, Seminyak, Kuta, Bali. Kegiatan sekali sepuluh tahun itu diikuti wakil-wakil PGI-Wilayah, mitra-mitra kerja PGI dari dalam dan luar negeri dan sejumlah undangan. Di bawah ini laporan wartawan Pembaruan yang mengikutinya.

KUTA, BALI—Pertama-tama disadari, bangsa Indonesia akan dan sedang memasuki dasawarsa 90-an, menjelang dan menuju tinggal landas. Program-program gereja di bidang partisipasi dan pembangunan perlu ditata kembali sesuai dengan hasil-hasil Sidang Raya ke-11 PGI di Surabaya, Oktober tahun lalu. Sidang Raya itu mencatat, usaha menanggulangi kemiskinan dan berbagai kesenjangan telah menjadi tekad Gereja-gereja untuk melaksanakannya dalam kebersamaan dengan semua pihak. Dalam rangka melanjutkan dan menjabarkan hal itulah, Musyawarah Nasional Partisipasi dalam Pembangunan, disingkat “Munas Parpem” itu diselenggarakan. Sepuluh tahun lalu, kegiatan serupa dilangsungkan di Tentena, di tepi Danau Poso, Sulawesi Tengah.

Munas Parpem di pantai Kuta ini pun bekerja di bawah tema Sidang Raya Surabaya itu. “Roh Kudus memberi Kuasa menjadi Saksi” dan sub-tema “Bersama-sama menanggulangi kemiskinan dalam rangka Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila menuju tinggal landas.”

Munas telah berjalan dalam suasana pertemuan antara mereka-mereka yang bekerja di “lapangan” yang dianggap kurang “rohani” dan kalangan pendeta/ gereja yang “rohani” sehingga perumusan salah satu kelompok dirasakan perlu diperbaiki atau dipoles. Kata “busuk”, “membusuk” dalam kaitannya dengan “korupsi” umpamanya dinilai kurang tepat disuarakan oleh Munas yang berlatar belakang gereja ini, walaupun istilah itu muncul dalam penelaahan Alkitab sebelumnya. Juga menyangkut istilah “rakyat kecil”, ada peserta yang memintanya “diperhalus”. Dengan demikian tiga rumusan dari kelompok diskusi dapat diterima Munas dengan catatan, diperlukan perbaikan dan penghalusan di sana sini, di samping memperhatikan amandemen-amandemen yang muncul.

Masukan yang diterima Munas ini memang cukup luas. Termasuk apa yang disuarakan dalam sidang INGI di Bonn, Jerman Barat baru-baru ini. Bagaimana hubungan dengan mitra-mitra kerja juga diungkapkan. Antara lain, umpamanya, mereka yang memberi donor itu sering datang sebagai inspektur keuangan yang memeriksa segala sesuatu.

Masalah pembangunan Indonesia bagian timur dengan singkatan IBT, mendapat banyak sorotan. Wakil Gereja-gereja dari kawasan itu berbicara banyak tentang ketidaksiapan masyarakat IBT dan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Umpamanya bagaimana mengantisipasi pengembangan Biak di Irian Jaya yang kelak akan menjadi daerah tujuan wisata. Menteri Dalam Negeri Rudini pada kesempatan tatap muka di Munas itu mengatakan, objek wisata laut di Biak itu akan lebih besar dan lebih menarik dari Bunaken di Manado, Sulawesi Utara.

Menyangkut bidang ekonomi, Munas melihat peran bisnis swasta yang semakin besar, tetapi jauh dari “pemerataan”. Perhatian Munas tertuju pada pengembangan usaha-usaha kecil, yang dilihat justru lebih “memeratakan”. Gereja-gereja diserukan untuk membuka dialog dengan pengusaha-pengusaha swasta agar membantu usaha-usaha kecil itu dan mereka “yang kurang beruntung”.

Setelah mendengar masukan atau pandangan dari Dr. Budiono Sri Handoko, dengan pembahas Jakob Tobing MPA serta pemandu Dr. Albert Wijaya, dicatat, sebagai negara dengan system ekonomi yang sangat terbuka, arah perkembangan ekonomi Indonesia akan sangat terpengaruh oleh perkembangan ekonomi dunia. Kesinambungan kebijaksanaan Pemerintah mengarahkan peran swasta yang lebih besar. Pemerintah menciptakan iklim investasi dan berusaha yang sehat, termasuk aspek kelembagaannya. Ini tidak berarti bahwa ekonomi Indonesia menjadi ekonomi yang liberal dalam artian ekonomi yang kapitalistik. Namun diakui, perkembangan yang dimotori swasta biasanya kurang dapat mendukung aspek pemerataan, sehingga selalu memerlukan peran aktif pemerintah.

Di samping itu, pengaruh globalisasi ekonomi ke sektor-sektor modern yang semakin kuat telah melahirkan kesenjangan dan ketimpangan social-ekonomis di antara pelaku-pelaku ekonomi.

Yang paling sentral adalah barangkali adanya “pihak” yang melihat atau menuduh suara-suara gereja selama ini sering dianggap merusak “citra” gereja di mata pemerintah. Pendeta Dr. Eka Darmaputera menjawab “tuduhan” itu. Ia mengatakan, “Sebagai lembaga non pemerintah gereja yang mempunyai privilese (privilege) mempunyai fungsi kritis yang tidak harus dimengerti tidak partisipatif. Fungsi kritis itu adalah bagian dari partisipasi positif itu sendiri.”

Advokasi
Pembangunan selama dua decade sebelumnya disadari banyak menghasilkan kemajuan dalam pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak dapat disangkal, belum mampu memberikan manfaat pada seluruh rakyat, terutama rakyat kecil, petani penggarap, nelayan tradisional, buruh pabrik, pedagang asongan, pengemudi becak, pemulung dan sebagainya. Sering terjadi konflik kepentingan antara rakyat kecil dengan mereka yang beruntung yang memiliki kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan. Konflik kepentingan itu selalu berakhir dengan kekalahan rakyat kecil, karena, baik dari segi ekonomi, politik, budaya (pengetahuan maupun jaringan kerja) mereka kalah.

Munas mencatat, di samping keberhasilan makro dari kebijakan ekonomi terbuka yang berorientasi ekspor, tersembunyi penderitaan-penderitaan masyarakat. Orientasi ekspor yang bertumpu pada industri yang mengandalkan tenaga kerja selama ini telah dilandaskan oada keuntungan komparatif tenaga kerja yang murah. Dalam kaitan ini diserukan agar peraturan upah minimum benar-benar diperhatikan dalam kontrak-kontrak kerja.

Di pihak lain disadari, selama dua dasawarsa (decade) itu, partisipasi gereja dalam pembangunan belum menampakkan kiprahnya dalam memberikan dukungan, perlindungan dan pembelaan terhadap rakyat kecil. Menyadari hal itu, menyongsong dasawarsa 90-an, gereja perlu berperan serta memberikan advokasi (advocacy: pembelaan) terhadap rakyat kecil itu.

Advokasi dinyatakan sebagai wujud dari kesaksian pelayanan dan solidaritas gereja di tengah-tengah rakyat kecil. Advokasi juga merupakan perwujudan partisipasi gereja secara positif, kreatif, kritis dan realistis dalam pembangunan nasional sebagai wujud pengamalan Pancasila. Advokasi itu terutama ditujukan kepada rakyat yang tersisih, tercecer, tertindas, termiskin dan terjepit. (Pembaruan 12/5)

Advokasi juga bertujuan untuk memulihkan harapan bagi manusia yang putus asa, sakit dan tidak berpengharapan (“buluh yang terkulai tidak dipatahkan dan sumbu yang berasap tidak dipadamkan”).

Usaha advokasi gereja untuk menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan martabat manusia dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, pertama, cara langsung melalui bantuan, dukungan, dan tindakan. Dan cara kedua, secara tidak langsung, dengan upaya mendukung dan menopang rakyat kecil melalui perjuangan untuk memperbaiki peraturan dan ketentuan yang memberatkan kehidupan rakyat kecil itu.

Dasawarsa 90-an
Dasawarsa 90-an dilihat sebagai dasawarsa yang kritis. Dalam bidang politik disadari perlunya perhatian yang sungguh-sungguh terhadap aspek terjaminnya partisipasi masyarakat, kebebasan untuk menyatakan pendapat dan mengorganisasikan diri serta melaksanakan kegiatan secara konstruktif. Juga terjaminnya hak memperoleh informasi secara lebih luas dan terbuka dari pemerintah, terjaminnya hak-hak masyarakat untuk ikut serta dalam merencanakan dan melaksanakan proyek-proyek pembangunan, serta terjaminnya hak-hak untuk memperoleh pekerjaan dan hidup yang layak serta untuk memperoleh pendidikan.

Menyangkut kesadaran politik, diserukan perlunya suatu pendidikan politik agar rakyat mampu melaksanakan partisipasi politiknya secara bertanggung jawab. Dalam hal ini juga dinyatakan keinginan Munas Parpem menyangkut Pemilu.

Selanjutnya, Munas menyadari perlunya kerja sama antarumat beragama dalam rangka Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila (PNSPP) dengan tujuan dua dimensi: pertama, dalam memberikan landasan moral, etik, dan spiritual bagi kebudayaan modern yang dianut oleh bangsa Indonesia. Kedua, mengusahakan agar kebudayaan modern sebagai hasil dari pembangunan masuyarakat industri tidak terlepas dari kepribadian dan kebudayaan Indonesia yang khas dan autentik, tidak terlepas dari nilai-nilai etik, moral, dan spiritual agama-agama di Indonesia.

Urbanisme
Dengan mencatat masukan-masukan dari Prof. Dr. Selo Soemardjan, Dr. BA Supit dan Budiharga (dari INGI), Munas mencatat berlangsungnya kecenderungan ruralisme ke urbanisme. Terjadi perubahan dalam nilai dan sikap hidup masyarakat yang lebih terbuka terhadap inovasi baru yang dapat menguntungkan, berkembangnya diversifikasi profesi di luar pertanian, diperkenalkannya dan diterimanya pranata-pranata social sesuai dengan diversifikasi profesi dalam masyarakat itu.

Juga dicatat munculnya kecenderungan pluralisme kea rah unitarisme, dalam mana masyarakat desa mengalami intervensi yang kuat yang dapat berakibat pada menipisnya batas-batas social dan budaya antarsuku dan antarbangsa. Di kota-kota besar terdapat kecenderungan masyarakat untuk menyatu dengan masyarakat seluruh dunia.

Di samping itu juga dicatat, kecenderungan pertumbuhan yang cepat dari golongan bisnis di kota-kota dan kecenderungan bertambahnya tenaga wanita yang bekerja dalam administrasi pemerintahan dan swasta.

Dalam kaitan dengan kecenderungan-kecenderungan yang berlangsung cepat itu, Munas mencatat, masyarakat perlu dibantu dalam menentukan nilai-nilai dan kaidah-kaidah mana yang untuk suatu waktu dan untuk suatu keperluan, wajar diikuti. Pemerintah perlu pula menentukan nilai-nilai dan kaidah-kaidah mana yang perlu diambil sebagai landasan hukum dan kebijaksanaannya.

Dicatat pula, salah satu tantangan pada decade 90-an adalah kekurangsiapan dalam bidang pendidikan. Terlihat bahwa pendidikan yang baik menuntut biaya yang besar sehingga mereka yang miskin tidak dapat menikmatinya. Juga, semakin jauh sekolah dari kota besar semakin rendah mutu sekolah itu, sehingga hal itu turut mendorong urbanisasi.

Hal-hal Lain
Menyangkut masalah kependudukan, Munas mencatat, selain pertumbuhan sebesar 1,9% per tahun yang harus dicapai dan dipertahankan, Indonesia menghadapi masalah struktur penduduk muda yang rasionya sebesar 70% terhadap penduduk produktif. Itu berarti, setiap tujuh orang muda tergantung hidupnya (dependency ratio) pada tiga orang/ penduduk produktif.

Munas melihat fungsi tanah telah bergeser sebagai akibat kegiatan sector modern yang berorientasi pada kegiatan industri dan manufaktur. Fungsi tanah bergeser dari lahan budidaya agraris menjadi lahan untuk menampung kegiatan industri, manufaktur, dan perdagangan. Hal itu menyebabkan nilai tanah bertambah tinggi, sementara penguasaannya bergeser dari petani ke industrialis dan pedagang. Masalah-masalah yang muncul adalah, manipulasi harga tanah, semakin meningkatnya birokrasi pertanahan yang berbelit-belit dan semakin sempitnya tanah untuk keperluan pertanian.

Karenanya Munas menyerukan, perlunya penataan tentang pemanfaatan tanah bagi kepentingan warga negara yang mempunyai hak atas tanah, baik di kota maupun pedesaan, dan hal ini merupakan tantangan yang perlu dijawab.

Menyangkut lingkungan hidup, Munas mencatat, hubungan antara manusia dan ciptaan Allah yang lain, menimbulkan situasi relasional yang problematic, terutama dengan semakin gencarnya upaya manusia untuk mempertahankan hidup. Di Indonesia, pembangunan nasional yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi sebagaimana dialami pada masa-masa lampau dengan ditunjang system social dan system hukum yang amat lunak mengenai pemanfaatan lingkungan, berakibat timbulnya dampak negative dari proses pembangunan terhadap lingkungan hidup manusia.

Pencemaran udara, air, dan tanah, penggundulan hutan sebagai akibat ketamakan manusia, merupakan gejala serius yang berakibat hilangnya keseimbangan hidup antara manusia dan lingkungannya. Masalah itu tidak terlepas dari system perekonomian yang bertolak dari paham bahwa alam adalah ciptaan Allah yang harus ditaklukkan dan bukan sebagai mitra yang saling menghidupi dan saling tergantung eksistensinya.

Banyak hal yang telah dibicarakan dan didiskusikan dalam Munas Parpem ini, dan agaknya waktu tiga hari tidaklah cukup untuk mencoba mengantisipasi segala hal yang akan dan mungkin terjadi pada dasawarsa 90-an sekarang ini.

Suara Pembaruan/ Moxa Nadeak 19 Mei 1990

0 comments:

Post a Comment