Wednesday, June 27, 2012

Atas Nama Demokrasi…

Kronik Pembaruan

Pada zaman dulu di Kaledonia Baru, tinggallah suatu keluarga besar Kanak yang memiliki tanah yang amat luas. Lalu, pada suatu ketika muncullah seorang kulit putih, yang mengaku tersesat. Melihat orang asing itu, tidak memiliki tempat tinggal dan tidak tahu hendak kemana, kepala keluarga atau kepala suku Kanak itu menawarkan keramah-tamahan sesuai adat sukunya. Sebuah rumah atau gubuk besar diserahkan untuk dihuni orang asing tersebut.

Setahun kemudian, orang asing itu datang menghadap sang kepala suku dan mengatakan: “Gubukku begitu besar, karenannya saya ingin tinggal bersama saudaraku yang nasibnya sama-sama dengan saya…”

“Boleh, boleh…” jawab sang kepala suku. “Anggaplah itu rumahmu…”

Orang asing itu pun membawa orang lain tinggal bersamanya. Tahun berikutnya, orang asing itu kembali mendatangi sang kepala suku dan mengatakan ingin tinggal bersama saudaranya yang ketiga di gubuk yang terlalu besar itu. “Boleh, boleh…” kembali sang kepala suku menjawab, sesuai dengan adat nenek moyangnya yang selalu menghormati tamunya.

Pertama seorang, kemudian dua, lalu tiga, empat, dan seterusnya dengan alas an yang sama. Pada akhirnya ada enam orang asing yang menghuni gubuk besar itu.

Pada suatu ketika, kepala suku memerlukan gubuk itu untuk digunakan oleh anggota keluarganya, dan memberitahukan kepada orang-orang asing itu akan maksud tersebut.

“Tidak bisa…,” kata keenam orang asing itu. “Rumah ini milik kami…”

Kepala suku ingin bermusyawarah dengan mereka, tetapi mereka menolak dan tetap tidak bersedia meninggalkan gubuk tersebut.

Melihat situasi yang tegang itu dan sekaligus memanfaatkannya, orang-orang asing itu lalu berkata: “Karena Anda bersikeras, mari kita ke pengadilan, minta diadili. Tentu akan adil karena mereka demokratis.”

Kepala suku setuju dengan keyakinan, apa pun yang terjadi, sepanjang menyangkut keadilan, semuanya akan berakhir dengan baik.

Memang hakim atau pengadulan menurut hukum orang-orang asing itu menggunakan pemecahan secara demokratis. Hakim meminta mereka melakukan voting atau pemungutan suara. Kepala suku yang tidak tahu apa-apa itu melawan enam orang. Dan karena demokrasi selalu memenangkan yang mayoritas, menanglah keenam orang asing itu dan kalahlah sang kepala suku dan sekaligus kehilangan rumahnya.

Joke atau lelucon ini disampaikan dalam diskusi salah satu seksi dari konferensi tentang Misi dan Evangelisasi yang diselenggarakan oleh Dewan Gereja-gereja se-Dunia di San Antonio, Texas, Amerika Serikat, pekan ini. Konferensi dimulai Senin 22 Mei dan akan berakhir pada 1 Juni 1989. Lelucon tersebut bertujuan menggambarkan pengalaman bangsa atau negeri yang mengalami penindasan dan penjajahan.

Suara Pembaruan, 26 Mei 1989
Moxa Nadeak

0 comments:

Post a Comment