Tuesday, June 26, 2012

“Kotbah Itu Tidak Bisa Bohong….”

JAKARTA—Kotbah dalam suatu kebaktian biasanya bukan jadi berita. Tetapi kali ini punya alas an untuk menjadi berita dan disiarkan, sebab wartawan diundang hadir. Kenapa diundang? Karena dalam kebaktian itu berlangsung suatu upacara pengukuhan suatu badan atau lembaga yang telah berdiri sejak delapan tahun lalu dan dalam perkembangannya menimbulkan “soal” dalam tubuh gereja HKBP.

Apa itu HKBP? Inilah gereja paling “na bolon” (yang besar) di Indonesia, gereja Kristen Protestan paling besar di Asia Tenggara, anggota terbesar dalam Persekutan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Dari kepanjangan namanya—Huria Kristen Batak Protestan—huria atau gereja itu adalah miliknya orang-orang Batak, walaupun dalam anggaran dasarnya terbuka bagi siapa pun. Dimana-mana anggota-anggota gereja ini berada, mereka akan berusaha mendirikan gereja. Peraturan gereja tersebut mengizinkan hal itu, dua puluh lima keluarga saja sudah cukup mendirikan gereja baru. Tak heran, muncul soal dengan gereja-gereja setempat, seperti di Jayapura, Kupang, dan di lain-lain tempat. Sebaliknya, banyak juga yang toleran, khususnya di Manado.

Namun HKBP sendiri tidak mampu “menjaga” anggota-anggotanya untuk tidak menjadi anggota gereja lain. Yang pasti, ada dua hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, karena tiada ada (belum ada?) gereja HKBP di daerahnya atau kedua, karena sesuatu “pertikaian”. Alasan ketiga tentunya adalah, karena pernikahan dengan non-Batak.

Kepindahan anggota-anggota itu menjadi soal bagi HKBP.

***

Kembali ke soal kotbah di atas, hari Minggu lalu (17/2) Gereja HKBP Jalan Jambu di Menteng, Jakarta mengundang wartawan berbagai media massa untuk menghadiri upacara pengukuhan “Dewan Zending HKBP Distrik VIII Jawa-Kalimantan”. Upacara pengukuhan itu dilangsungkan dalam kebaktian Minggu itu, tidak dipisahkan atau terpisah. Karenanya, ketika tiga sambutan disampaikan, setelah pengukuhan itu, tidak ada yang bertepuk tangan, walaupun hanya sekadar basa-basi. Sambutan itu antara lain dari Direktur Departemen Zending HKBP yang berpusat di Pematang Siantar, Pendeta AB Siahaan.

Pada kebaktian itulah seorang pendeta penyampaikan kotbahnya. Nama pendeta ini sengaja tidak disebutkan, sebab ia sendiri dalam kotbah itu menyerukan perlunya “kerendahan hati”. Kotbahnya menarik, menyentuh dan kadang-kadang sarkastis, tetapi memancing tawa.

Gayanya menarik. Biasanya kalau seorang pendeta berkotbah lebih dari lima belas menit, barisan belakang jemaat sudah mengantuk. Ini tidak. Ia memang mengatakan, ia berdiri di hadapan kaum intelek, kaum berpendidikan yang mampu menghadiri suatu seminar sehari, terus mendengarkan.

Apa yang ia kemukakan, sebenarnya menyakitkan hati anggota jemaat di kawasan Menteng itu. Kenapa? Gereja HKBP inilah yang paling terkemuka di antara gereja-gereja HKBP di seluruh Indonesia. Anggotanya terdiri atas “orang biasa” sampai Ketua DPA. Gereja ini memiliki paduan suara yang paling bagus setara “orchestra”. Jangan coba-coba melewati Jalan Jambu pada tiap hari Minggu pagi. Anda akan sulit menelusuri jalan itu sebab penuh mobil anggota jemaat, mulai dari sedan paling mewah… di kiri kanan jalan. Gereja HKBP ini hanya kalah besar dari Gereja HKBP Sudirman (di Jalan Setiabudi, Jakarta) dan “kalah sejarah” dari Gereja HKBP Kernolong di Jalan Kramat IV, Jakarta (gereja HKBP paling tua atau yang pertama di Pulau Jawa).

Dari atas mimbar, pendeta (yang mampu berkotbah dalam bahasa Inggris dan Jerman) itu mengatakan, ingin menangis melihat atau membandingkan keberadaan gereja itu dan apa kenyataan yang dilihatnya. Ia menceritakan, pernah seorang warga jemaat yang meninggal dunia, terpaksa dikuburkan bukan di kuburan Kristen, karena tidak punya uang. Ia pun menceritakan, bagaimana seorang wanita Batak harus mencari pekerjaan harian di Tanah Karo, menunggu jemputan orang untuk mengajaknya mengerjakan sawahnya.

Nah, pendeta ini pun tidak melupakan apa yang terjadi di gereja HKBP sekarang ini—yang sampai-sampai menyebabkan sinode-godang-nya (sinode agung) ditunda karena pertikaian-pertikaian dalam tubuhnya. Sinode Agung itu sedianya diselenggarakan bulan Agustus tahun lalu. Tetapi sampai sekarang belum terlaksana. Perkembangan terakhir menyebutkan, sinode kerja itu akan diselenggarakan bulan April nanti.

Pendeta itu mengatakan, selama pertikaian itu, telah muncul selebaran-selebaran dan penerbitan-penerbitan yang tentu biayanya mahal. Juga, katanya, ia pun menerima telepon-telepon gelap yang berbau ancaman. Seolah-olah “menuduh” jemaat yang mendengarkan, ia pun berseru, hentikanlah penerbitan-penerbitan yang mahal itu, gunakanlah biayanya itu untuk usaha-usaha yang baik. Hentikan juga telepon-telepon gelap itu, tambahnya.

Ia juga mengatakan, betapa sedih dan kecewanya ia melihat warganya yang jarang hadir dalam kebaktian. Dalam penelitian kami, katanya, pada suatu jemaat beranggotakan 2.115 jiwa, yang aktif hadir dalam berbagai kegiatan gereja hanya 1.010 orang atau 50%. Yang mencari pelayanan lain di gereja lain, 97 orang. Dimana yang lain, pendeta itu bertanya.

***

SEHABIS kebaktian itu berlangsung semacam “konferensi pers”. Seorang wartawan memberikan komentarnya terhadap kotbah itu. Apa jawab sang pendeta? “Kotbah itu tidak bisa bohong…”.

Ia memang mengutarakan apa adanya. Wartawan itu pun menambahkan, apa yang mirip dengan kejadian di Tanah Karo itu dapat ditemukan di pemukiman-pemukiman “kumuh” karyawan-karyawan wanita di Jalan Raya Bogor dan di Tangerang, serta di tengah kehidupan para kondektur bus di Pulogadung, Jakarta.

Apa usaha zending atau aktualisasi kegiatan zending terhadap mereka-mereka itu? Pendeta Siahaan dari Departemen Zending itu tidak menjawab secara jelas dan konkret. Ia hanya mengatakan, usaha zending adalah menyampaikan Injil yang utuh kepada manusia yang utuh, berupa “kabar baik”, perbuatan baik dan tanda-tanda Pentakosta.

Pendeta BTP Purba yang memimpin Distrik VIII (dengan demikian ia disebut Praeses) menambahkan, pemberitaan Firman itu tidak boleh dipisahkan dari segi “justice” (keadilan). Usaha-usaha zending bukanlah untuk mempertentangkan kelas.

***

“Konferensi pers” itu sebenarnya hanya sekadar menjelaskan apa arti pengukuhan lembaga zending itu dan menyinggung apa yang menjadi “soal” yang dimunculkan dalam tubuh HKBP. Di sini berbicara praeses di atas dan Direktur Departemen Zending HKBP Pendeta AB Siahaan, serta Sintua Drs. TB Simangunsong dan Dr. PMH Sinaga MSc. Kedua yang terakhir ini adalah pengurus lembaga itu.

Mereka menjelaskan, pada tahun 1983 di Jakarta berdirilah Badan Pendukung Pelayanan Zending (BPP Zending) HKBP yang terutama berusaha dalam bidang dana. Dalam perkembangannya BPP Zending itu tidak hanya mencari dana, tetapi juga memberikan dukungan pelayanan rohani.

Lalu terbukalah apa yang menjadi “soal” usaha zending itu dalam tubuh gereja HKBP. Gempa bumi yang memporakporandakan Tarutung (di ibukota Kabupaten Tapanuli Utara inilah pusat HKBP) beberapa tahun lalu mendorong BPP Zending tersebut mengirimkan tim evangelisasi ke sana. Tim itu mengambil nama “Nehemia”. Dalam pelayanan mereka atau kegiatan evangelisasi itu, ada di antara mereka yang “mangampehon tangan” (“mengangkat tangan”) memberkati orang-orang yang mereka layani, yang menderita akibat gempa itu. Tindakan “mengangkat tangan” itu mengundang reaksi yang berkepanjangan, sampai sekarang.

***

Begitulah, banyak hal yang berasal dari Gereja HKBP Jalan Jambu, Jakarta, yang mempengaruhi banyak hal dalam kegiatan dan perkembangan HKBP. Itu tentunya bukanlah untuk arogansi atau kesombongan. Gereja ini mempunyai tanggung-jawab “lebih” karena ber-“potensi lebih”, dan kotbah pendeta itu tidak bohong…

Suara Pembaruan/ Moxa Nadeak

20 Februari 1991

0 comments:

Post a Comment