Monday, June 18, 2012

Impian yang Menjadi Kenyataan

Peresmian Asrama dan Penggunaan SMA III Soposurung, Balige

JAKARTA—Ini impian yang menjadi kenyataan. Pada mulanya adalah gagasan untuk membantu sekolah asal atau SMA (Sekolah menengah Atas) I di Soposurung, Balige, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, oleh sejumlah alumnus sekolah itu. Tetapi setelah membangun perpustakaan dan menyumbangkan berbagai peralatan bagi sekolah itu—ternyata persoalan utama adalah, lulusan-lulusan SMA dari Tapanuli Utara sekarang ini sudah tidak mampu lagi bersaing untuk melanjutkan pendidikan ke berbagai perguruan tinggi.

Lalu timbullah ide untuk membantu pemerintah mengelola SMA yang lulusannya benar-benar dapat bersaing dengan lulusan SMA mana pun. Itulah yang dilakukan para alumnus SMA Soposurung itu lewat sebuah yayasan yang mereka bentuk tanggal 4 September 1990 lalu. Lewat yayasan bernama Yayasan Soposurung tersebut, mereka menghimpun dana sekaligus bernostalgia mengingat masa-masa lalu mereka pada tahun 50-an dan 60-an.

Apa yang terwujud sekarang adalah sebuah SMA, yang diberi nama SMA Negeri III Soposurung di Balige, di samping sebuah asrama untuk sisa-siswi sekolah itu. Persemian asrama dan penggunaan SMA III Soposurung itu berlangsung hari Kamis, 16 Juli lalu, dalam suatu upacara yang termasuk besar di tengah lapangan di depan kompleks asrama dan sekolah tersebut. Upacara ini dihadiri oleh Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Hasan Walinono, Bupati Tapanuli Utara Lundu Pandjaitan, SH, para pemuka adat, para orang tua murid, serta wakil-wakil masyarakat, sejumlah wakil sekolah-sekolah menengah di Tapanulim yang semuanya diperkirakan tiga ribuan.

Siapa ’’tuan rumah’’ pertemuan besar yang juga merupakan sponsor kegiatan yang termasuk unik dan langka ini? Jawabannya adalah para anggota dan pengurus Yayasan Soposurung sendiri, yaitu para alumnus atau tamatan SMA I Soposurung, Balige yang menyelesaikan pendidikan mereka di SMA itu sekitar tahun 50-an dan tahun 60-an itu.

Para alumnus yang kini kebanyakan tinggal di Jakarta (Sebagian lainnya di Medan) sebelumnya lewat beberapa kali kesempatan—secara beramai-ramai dengan mencarter pesawat pada tahun 1987 dan 1990, atau hanya beberapa orang pengurus—mengunjungi SMA I Soposurung itu, membawa sejumlah peralatan seperti komputer dan olah raga serta mendirikan perpustakaan.

Itu terjadi sebelum menyadari ’’masalah’’ menyangkut mutu lulusan SMA di Tapanuli yang kini sudah tidak mampu bersaing itu. Dulu pada tahun 50-an dan 60-an tamatan-tamatan SMA Negeri I Soposurung terkenal mampu bersaing dengan lulusan SMA lainnya di Indonesia, memasuki berbagai pendidikan tinggi lanjutan. Pada tahun 1957, lulusan SMA Negeri Soposurung yang hanya satu-satunya di Tapanuli Utara itu lebih banyak yang lulus seleksi memasuki ITB (Institut Teknologi Bandung) daripada SMA Teladan Medan. Tetapi sekarang, lulusan dari 23 SMA Negeri di seluruh Tapanuli Utara, untuk masuk Universitas Sumatera Utara (USU) saja sudah sulit bersaing. Dengan demikian, kalau kita tidak bisa mengatakan, mutu SMA itu merosot, yang jelas SMA di Tapanuli Utara tidak bisa lagi bersaing dengan SMA di kota-kota besar. „Saya kira gejala ini pula yang terjadi di daerah lain khususnya di luar Jawa,“ kata Mayjen TNI TB Silalahi, Pembina Yayasan Soposurung.

Hal ini memprihatinkan para alumnus atau pengurus Yayasan Soposurung—yang kini umumnya sudah berhasil menjadi "orang“ itu. Keunggulan-keunggulan yang pernah dimiliki SMA Soposurung semakin pudar, kata Ir. Victor Tobing, ketua Yayasan Soposurung. Mereka pun membuat studi meneliti "kemerosotan“ itu. Mereka menyimpulkan, pada umumnya kualitas pendidikan di luar Pulau Jawa memang lebih rendah.

Lalu mereka bekerja ke arah "peningkatan mutu“ itu. Namun mereka sadar, mendirikan suatu SMA apalagi yang swasta—seperti SMA Taruna Nusantara, Magelang—akan sangat mahal dan memerlukan pendekatan birokrasi yang panjang pula. Juga kalau Yayasan Soposurung bekerja sama dengan swasta, maka biaya operasionalnya akan sangat mahal yang tentunya akan dibebankan kepada siswa-siswanya, seperti terjadi pada sekolah-sekolah favorit sekarang ini.

Dengan demikian, langkah yang terbaik ialah bekerja sama dengan pemerintah. Ini dibenarkan oleh Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 2/1989 yang menggariskan, usaha pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. "Kita bantu Pemerintah, Pemerintah membantu kita. Kita bahu-membahu,“ kata Silalahi.

"Bibit Unggul“Dalam benak para pengurus Yayasan Soposurung—setelah menyadari „kemampuan“ lulusan SMA Soposurung tiga sampai empat dasawarsa yang lalu—Tapanuli memiliki "bibit-bibit unggul“ yang perlu diselamatkan.

Mencari dan membina "bibit-bibit unggul“ itu penting sekali, bukan hanya untuk daerah ini, tetapi juga untuk negara dan bangsa. Pencarian atau rekruting "bibit-bibit unggul“ itu pun dilakukan lewat test pengetahuan dan psikotes yang dilaksanakan oleh lembaga psikotes TNI-AD dari Bandung.

Dengan tekad membantu pemerintah mengelola sebuah SMA yang akan membina "bibit-bibit unggul“ itu, Yayasan Soposurung pun menjalin kerjasama dengan Departemen P dan K. Kerjasama itu dituangkan dalam suatu "piagam kerja sama“ yang bertujuan "meningkatkan mutu“ pendidikan pada tingkat SMA. SMA yang dimaksud tersebut adalah SMA Negeri 3 Soposurung—yang benar-benar baru—dengan penerimaan murid atau siswa-siswi pertama dilakukan pada tahun ajaran 1992/1993 ini.

Kembali mendasarkan diri pada Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 2/1989 itu, Yayasan Soposurung juga memutuskan membantu SMA Negeri 3 di Soposurung itu dengan membantu menyiapkan fasilitas-fasilitasnya, baik yang soft maupun yang hard-ware. Soft-warenya tentulah termasuk kemampuan guru dan siswa, serta hardware-nya berupa bangunan sekolah dan asrama serta prasarana-prasarana pendidikan seperti laboratorium bahasa, peralatan komputer, dan kolam renang.

Bila kita melihat ke belakang, memang pada tahun 1957 di Sumatera Utara hanya terdapat satu SMA Negeri yaitu SMA Negeri I Soposurung di Balige tersebut, tetapi sekarang, tidak kurang dari 30 (termasuk di Kabupaten Dairi yang sebelumnya merupakan bagian dari Tapanuli Utara). Kalau pertambahan penduduk dibulatkan naik tiga kali lipat, maka khusus untuk SMA Negeri saja naiknya 30 kali lipat. Akan tetapi kuantitas itu tidak selalu sejajar dengan kualitas, kata Silalahi.

Mental Keprihatinan pengurus dan anggota Yayasan Soposurung bukan hanya menyangkut mutu pendidikan itu, tetapi juga menyangkut soal mental seperti sering diseminarkan. Agaknya ini disebabkan tidak adanya program pembinaan mentak yang terarah pada SMA Negeri. Juga, sekarang ini wibawa guru oleh berbagai pihak dikatakan malah menurun dibandingkan dengan pada tahun 50-an.

Karena itu, Yayasan Soposurung merasa terpanggil ikut serta membantu membina mental para siswa-siswi tersebut. Itulah sebabnya, siswa-siswi yang akan ditampung harus melewati psikotes tersebut.

Pelaksanaan atau pencerminan pembinaan mental dan pembentukan pribadi (character building) itu sudah terlihat pada saat upacara peresmian asrama dan penggunaan asrama SMA Negeri 3 Soposurung Kamis lalu tersebut. Para siswa-siswi yang mengaku "putra terbaik“ yang berjumlah 120 orang itu, dengan sikap tegak sama seperti prajurit berbaris di tengah lapangan. Mereka membacakan Prasetya yang mencakup kesetiaan terhadap Pancasila, UUD 1945, dan janji akan berbakti kepada orang tua, negara, bangsa, dan Tanah Air. Merekapun—satu per satu—mencium bendera Sang Saka Merah Putih. Suatu upacara yang sering kita saksikan dilakukan para pemuda-pemudi kita pasukan penggerek Merah Putih di halaman Istana Merdeka, Jakarta, pada tiap peringatan detik-detik Proklamasi, 17 Agustus.

Tidak dapat disangkal, pembinaan mental terhadap para siswa-siswi SMA Negeri 3 Soposurung ini dilakukan mirip prajurit. Bila kita bertanya kepada seorang siswi, siswi itu akan menjawab dengan lebih dulu mengatakan "Siap...“

Untuk membina mental para siswa-siswi itu, Yayasan meminta bantuan Angkatan Darat menugaskan seorang perwiranya. Ditunjuklah Letkol Kav. Nanto Sutoro sebagai Kepala Asrama, seorang perwira menengah yang sebelumnya bertugas sebagai kepala bagian dari pusat pembinaan kerohanian di AD. Ia dibantu oleh dua bintara yang bertugas sebagai pengawas, seorang wanita berpangkat sersan dari Kowad, bernama Moroseneng, untuk siswi dan seorang bintara laki-laki, Bambang Prawoto, untuk siswa. "Kita coba dengan konsep Angkatan Darat membina mereka,“ kata Mayjen TB Silalahi.

Agaknya kesan yang mengarah ke disiplin dan mental militer itu memang ada. Siswa-siswi ini sudah harus bangun pada pukul 05.30 dilanjutkan dengan olah raga pagi. Pada pukul 07.00-07.30 apel pagi dan seterusnya dilanjutkan dengan belajar di kelas mulai 07.30-13.30 dengan mengikuti kurikulum biasa dari Dep. P dan K. Setelah makan siang dan istirahat siang, mulai pukul 16.00 dilaksanakan kegiatan yang terprogram (olahraga, kesenian, dan ko atau ekstra kurikuler), dan setelah makan malam, siswa-siswi belajar sendiri serta melaksanakan kegiatan kurikuler dari mulai 18.30-21.00, sebelum apel malam pada pukul 21.30.

Tidak hanya itu, ketentuan berpakaian, tata tertib ruangan, serta berbagai keharusan, larangan dan sanksi juga ditetapkan. Antara lain, dilarang keras merokok, memindahkan peralatan, mencoret dinding, menyetel radio/ TV pada jam istirahat, dan lain-lain.

Lewat psikotes yang dilakukan itu, menurut Silalahi mengutip data Dinas Psikologi AD, 14 orang siswa-siswi untuk kelas 1 dapat dikatakan bertaraf nasional atau memenuhi requirement dari SMA Taruna di Magelang. Yang mengherankan, juara nomor satu psikotes dan sekaligus nilai tertinggi pengentahuan adalah seorang siswi bernama Melur Napitupulu, putri bungsu dari seorang mantan guru SMA Negeri I Soposurung itu tahun 50-an.

Piagam Kerja Sama Piagam kerja sama antara Departemen P dan K dengan Yayasan, memilah-milah tanggung jawab kedua pihak. Kantor Wilayah P dan K Sumatera Utara bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kurikulum di sekolah. Untuk pencapaian target kurikulum yang meliputi cakupan isi (content), kedalaman (depth), dan tujuan (objective), antara lain diupayakan dengan supervisi, bimbingan, kesempatan mengikuti uji coba kurikulum 1994 dan kesempatan memperoleh proyek kegiatan percontohan Dep P dan K dalam salah satu bidang seperti olahraga dan kesenian.

Bagian tanggung jawab Dep. P dan K juga termasuk peningkatan prasarana SMA Negeri 3 Soposurung itu—sebagai sekolah baru yang berubah fungsi dari SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Negeri—baik dalam renovasi/ rehabilitasi semua bangunan dan ruangannya. Demikian juga peralatan dan sarana pendidikan lainnya serta yang paling penting, tenaga guru dan tenaga pendidikan di SMA yang baru tersebut.

Dalam penyediaan tenaga guru dan tenaga pendidikan itulah, Yayasan Soposurung memberikan honorarium atau insentif berdasarkan beban atau jumlah jam mengajar.

Bagian tanggung jawab Yayasan Soposurung dalam piagam kerja sama itu antara lain adalah rekruting siswa-siswi setiap tahun ajaran dari setiap SMP negeri dan swasta yang berstatus disamakan di Kabupaten Tapanuli Utara, yang jumlahnya lebih 100 sekolah pada tahun 1992 ini. Seleksi dan tes IQ dilakukan bersama dengan Kanwil P dan K.

Keberhasilan Keberhasilan Yayasan ini melaksanakan pembangunan asrama dan membantu pengelolaan SMA Negeri 3 itu banyak tergantung dari semangat kebersamaan yang benar-benar jauh dari pandangan primordialistik.

Para anggota dan pengurus Yayasan ini melihat, apa yang mereka usahakan dan lakukan berkaitan dengan usaha bangsa kita untuk membina sumber daya manusia. Karena itu, seorang pengusaha keturunan Cina—yang pintar berbahasa Batak, karena lahir dan dibesarkan di Tapanuli Utara—tidak segan-segan memberikan sumbangannya bagi proyek ini.

Malah pengusaha-pengusaha lain, yang sejarah almamaternya tidak mempunyai kaitan dengan Soposurung, juga memberikan sumbangan yang tidak sedikit. Di antara penyumbang-penyumbang itu adalah Ir. Syarif Tando (beristrikan wanita Batak), Ir. M. Victor Radjaguguk, Anton Malanton (keturunan Cina, lahir di Balige, murid SD HKBP di Sidikalang, dan amat fasih berbahasa Batak), Bistor Posma Gurning, Handoko Naulibasa, Waluyo Susanto, Wanaldi Pandjaitan, Tigor Ambarita, K Tobing, Jummy Junus, Andiono (pembangunan asrama), Adi Mursid (arsitek yang men-design asrama itu), Ihutan Panggabean, Rudy Shultz (warga Amerika yang beristrikan wanita Batak), dan Buba Tambunan. Mereka adalah sebagian kecil dari sejumlah penyumbang yang dapat hadir pada kesempatan itu.

Silalahi ketika memberikan tanda penghargaan kepada para penyumbang itu mengatakan, mereka adalah para simpatisan Yayasan Soposurung khususnya rakyat Tapanuli Utara pada umumnya. „Simpati mereka terhadap kondisi sumber daya manusia di daerah ini.“

Usaha-usaha Yayasan itu dan sumbangan-sumbangan para simpatisan itu membuat Yayasan Soposurung ini berhasil menghimpun suatu „dana abadi“ yang didepositokan di bank dan hasil bunganya pada waktu mendatang akan membiayai sebagian pengeluaran-pengeluaran rutin sekolah ini.

Asrama Kini asrama itu telah berdiri megah di Soposurung, di kaki bukit Dolok Tolong, dan dari sana dapat terlihat Danau Toba yang indah. Udara yang dingin jelas akan menambah semangat belajar para penghuninya.

Peletakan batu pertama pembangunan asrama itu dilakukan hanya sekitar delapan bulan lalu, 9 November 1991. Asrama itu terdiri dari tiga unit bangunan permanen dengan luas 1.036 meter persegi, lengkap dengan perabot yang diperuntukkan bagi 120 siswa. Kemudian satu aula seluas 500 meter persegi, juga dengan perabotnya, yang dapat berfungsi serba guna antara lain sebagai ruang makan. Lalu, dua unit rumah tinggal tipe 90 meter persegi, dengan perabotnya, diperuntukkan masing-masing bagi Kepala Asrama dan kepala Sekolah SMA Negeri III Soposurung tersebut.

Dana yang dikeluarkan untuk membangun seluruh bangunan tersebut sebesar Rp 600.000.000. Ketua Yayasan Victor Tobing mengucapkan terima kasih kepada PT Wira Teknik selaku pemborong yang melaksanakan pembangunan itu, tepat pada waktunya.

Ketiga unit bangunan asrama itu mempunyai kapasitas tampung, masing-masing unit 42 orang. Dan di samping aula yang serba guna juga telah siap suatu ruang berukuran sedang sebagai ruang belajar, dan dapur serta gudang lengkap dengan perabot-perabotnya. Asrama ini pun sudah dilengkapi dengan fasilitas air dan listrik.

Siswa-siswi Tahun ajaran baru SMA III Soposurung ini ditetapkan mulai tahun ini, 1992/1993. dengan demikian timbul masalah baru. Bila hanya menerima 40 siswa-siswi untuk kelas I, maka fasilitas untuk kelas II (40 siswa-siswi) dan IIII (juga 4 siswa-siswi) yang sudah tersedia di asrama dan di SMA tersebut akan mubazir. Untuk itu ditempuhlah "jalan pintas" yang tetap mengacu kepada rekruiting siswa-siswi pilihan.

Untuk kelas I jelas dipilih siswa-siswi terbaik dari 110 SMP (Sekolah Menengah Pertama) negeri maupun swasta di Tapanuli Utara, melalui saringan/ seleksi pengetahuan (NEM), dan psikotest. Siswa-siswi kelas II direkrut dari 23 SMA yang masing-masing mengirim empat wakil terbaik yang juga diseleksi melalui psikotest. Untuk kelas III, khusus tahun ini diambil dari berbagai SMA Negeri dan swasta daerah sekitar untuk diasramakan, akan tetapi mereka tetap mengikuti pendidikan di sekolah mereka masing-masing. Mereka itu akan mendapatkan bimbingan test secara intensif untuk menghadapi UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri).

Sambutan "A dream comes true“ (Impian yang menjadi kenyataan), begitu kata Mayjen TB Silalahi ketika selaku pembina Yayasan menjelaskan apa dan bagaimana Yayasan Soposurung itu di depan upacara besar pada hari Kamis pekan lalu itu. Ia mengatakan menahan luapan kegembiraan hatinya dan para pengurus lainnya dengan terwujudnya impian yang baru setahun lalu mereka cetuskan.

Di atas kertas, katanya, konsepsi pembangunan dan kerja sama dengan Pemerintah dalam pendidikan ini berada "on the right track“. Semoga itikad baik dari hati nurani kita semua, dalam membina anak-anak kita ini dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, kata Silalahi mengakhiri penjelasannya yang panjang.

Bupati Tapanuli Utara Lundu Pandjaitan SH mengaku tidak mempunyai kalimat yang tepat untuk mengucapkan terima kasih atas usaha Yayasan Soposurung mendirikan asrama dan SMA Negeri III Soposurung tersebut.

Dirjen Dikdasmen Hasan Walinono yang pada upacara itu mendapat seperangkat pakaian adat Batak—dengan umbai-umbai penutup kepala dari emas murni—juga menyatakan ucapan selamat dan penghargaan atas usaha Yayasan itu "melakukan sesuatu yang mempunyai makna penting“.

Hasan Walinono menyetujui proyek itu sebagai suatu kerja besar dan peristiwa yang sangat penting karena menyangkut pendidikan. "Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan tidak dapat terjadi secara serta-merta atau dengan lompatan-lompatan,“ kata Hasan Walinono.

Dirjen pun mengutip pasal tersendiri dari UU tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan, masyarakat sebagai mitra Pemerintah mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk membantu usaha pendidikan. "Apa yang terjadi di kabupaten ini akan saya sampaikan di mana-mana, untuk menggugah warga-warga masyarakat di tempat-tempat lainnya turut mengikuti jejak langkah para pemuka dan waga masyarakat di Kabupaten Tapanuli Utara ini dalam upaya memperbaiki keadaan pendidikan,“ kata putra Bugis itu.

Gubernur Raja Inal dalam sambutannya juga menyatakan sangat berbahagia pada upacara ini, sebab Yayasan Soposurung telah mewujudkan filosofi budaya Batak yang paling luhur, yaitu saling tolong-menolong. Gubernur mengaitkan hal itu dengan imbauannya lewat Gerakan Pembangunan Desa Terpadu "Marsipature Hutana Be“.

SMA Negeri III Soposurung, kata Raja Inal, merupakan SMA Negeri pertama di Indonesia yang mencoba mencari bentuk dengan pola institusi berpasangan dengan pemerintah. "Oleh sebab itu pula SMA Negeri 3 Balige ini merupakan pilot project pertama Dept. P dan K dalam mengembangkan dan memperluas kerja sama dengan lembaga, yayasan atau badan yang menaruh perhatian terhadap sektor pendidikan.“

Mengharukan Biasanya dampak suatu proyek baru dapat diketahui sesudah beberapa lama. Tetapi selaku Pembina Yayasan ini, TB Silalahi Kamis malam sesudah peresmian asrama dan penggunaan SMA Negeri 3 itu sudah mendengar hal-hal yang mengharukan dari para siswa-siswi tersebut, ketika ia menemani mereka makan malam bersama.

Dalam tanya jawab dengan siswa-siswi itu, Silalahi bertanya bagaimana keadaan mereka sekarang. Seorang siswa dalam jawabannya mengatakan, mengakui mereka mendapatkan tempat, fasilitas, dan makanan yang baik. Jawaban lanjutan siswa inilah yang mengejutkan Silalahi. Kata siswa itu: "Saya sungguh-sungguh terharu melihat senior-senior masyarakat kami yang sudah berhasil di perantauan masih mengingat kami di kampung, bersedia berkorban untuk membantu kami.“ Mengharukan, begitu kesan beberapa anggota Yayasan ini yang mendengar laporan percakapan itu.

Lalu Silalahi bertanya kepada seorang siswi, apakah dia tidak merasa berat bangun pukul 5 pagi. Siswi ini langsung menangis, dan mengatakan, dia biasa bangun pagi pukul 4 untuk mencuci pakaian dan piring. Sekarang tugas itu diambil alih ibunya yang dengan rela melepaskan anak perempuannya itu demi kemajuan pendidikannya. Orang tuanya hanyalah petani miskin, akan tetapi siswi ini adalah siswi terbaik di Tapanuli Utara, yang menyatakan bersyukur memasuki sekolah ini.

Beberapa anggota Yayasan ini meneteskan air mata mendengar laporan Silalahi dari percakapannya itu. Ini tentulah sisi lain dari "peta kemiskinan“ Tapanuli yang selalu dibantah oleh Pemerintah Daerah Sumatera Utara.

Agaknya tidak salah untuk dicatat, pendiri-pendiri pertama Yayasan Soposurung adalah Laksamana Muda Parapat, Mayjen TB Silalahi, Ir. Victor Tobing, Ir. Gustav Pandjaitan, Drs. Ben Silitonga, Ir. Hasiholan Sumandjuntak, Ir. Osman Aruan, Ir. H Lumban Gaol, Drs. Anton Sihotang, Drs. Pinantun Hutasoit, Drs. Sahala Siagian, Sitompul, Ny Rugun Sitinjak, dan lain-lain.

Ketua Panitia Ir. Eddy Ihut Siahaan tentu berlega hati sesudah program yang melibatkan banyak orang ini selesai dengan baik, mulai dari pemberangkatan dari Jakarta pada saat peak season penerbangan pekan lalu, hingga menyewa tiga kapal di Danau Toba dari Parapat ke Balige, serta menginap dua malam di Parapat sampai kembali ke Medan dan terbang pulang ke Jakarta.



Suara Pembaruan, 28 Juli 1992
Moxa Nadeak

0 comments:

Post a Comment